31 Desember 2008

Nilai Shaum Kita

Rasulullah SAW bersabda dalam hadits Qudsi, menyatakan bahwa Allah SWT berfirman,
"Semua amal perbuatan Bani Adam menyangkut dirinya pribadi, kecuali shaum. Sesungguhnya shaum (puasa) itu untuk-Ku, dan karena itu Akulah yang langsung membalasnya. Shaum itu ibarat perisai. Pada hari melaksanakan shaum, janganlah yang shaum mengucapkan kata-kata yang kotor, tidak sopan dan tidak enak didengar, dan janganlah ribut hingar-bingar bertengkar. Jika ada di antara kalian memakinya untuk mengajak berkelahi, hendaklah katakan padanya, "Inni shaa'imuun... Saya sedang berpuasa." Selanjutnya Nabi SAW bersabda, "Demi Allah yang jiwa Muhammad di dalam kekuasaan-Nya, sesungguhnya bau busuk mulut orang yang sedang berpuasa lebih wangi di sisi Allah dari bau kasturi. Dan bagi orang yang puasa tersedia dua kegembiraan, yakni gembira ketika berbuka puasa karena bukanya dan gembira kelak menemui Rabb-nya (Tuhannya) karena menerima pahala puasa" (HQR Syaikhani, Nasa'i, Ibnu Hibban, dari Abu Hurairah ra).

Ada beberapa pelajaran agung dan pendidikan tingkat tinggi yang dapat diambil dari hadits qudsi di atas, diantaranya:

1. Pahala Khusus dari Allah
Semua bentuk ibadah dan ketaatan mempunyai pahala dan ganjaran tertentu dan terbatas, yang kesemuanya akan diterima oleh seseorang sesuai dengan kualitas amalnya. Lain halnya dengan puasa. Apabila tuntunan dan tuntutan puasa ditunaikan dengan baik, dilakukan dengan ikhlas, dilandasi kesadaran dan cinta, maka pahalanya langsung dianugerahkan oleh Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang. "Ash-shaumu lii wa ana ajzii bihi". "Man shaama Ramadhaanan iimaanan wahtisaaban ghufira lahu maa taqaddama min dzanbihi".

2. Puasa Ibarat Perisai

Bagi orang-orang mukmin, puasa adalah perisai, benteng, dinding yang dapat melindungi dari berbagai penyakit, baik itu penyakit jasmani maupun penyakit ruhani. Puasa dapat menjadi kekuatan yang mendorong seseorang untuk memperbanyak amal shalih. Puasa juga kekuatan untuk memancarkan Islam dan menambah cahaya iman dalam hati. Puasa menghaluskan budi pekerti, tutur kata, sopan-santun, lemah-lembut, sabar, pemaaf, dan sebagainya.

3. Puasa Melatih Keikhlasan

Salah satu kebahagiaan mukmin yang tiada tara adalah manakala setiap amalnya dilandasi keikhlasan. Mengapa? Karena hatinya tenang, tentram dan pasrah serta hanya mengharap keridhaan Allah. Sehingga ketaatan yang dilakukan stabil bahkan terus meningkat, karena tidak terpengaruh oleh pujian dan celaan. Dan puasa adalah pendidikan "kelas atas" untuk membina keikhlasan mukmin, yakni kesadaran bahwa setiap gerak-gerik dirinya selalu dalam pantauan Allah. Maka dirinya hanya pantas mengharap balasan dari Allah saja, bukan dari yang lain.

4. Puasa dan Akhlaq Mulia

Puasa menjaga diri agar jangan sampai terlibat pertempuran dan pertengkaran. Apabila tanpa sengaja hampir terlibat dalam perkelahian , bersegeralah untuk ingat dan sadar, mengingatkan diri dan orang lain, bahwa dirinya sedang berpuasa. Puasa juga akan mengajari cara menolak suatu kemungkaran dengan cara yang baik. Ini akan mendidik pelaku puasa agar komitmen dalam kebaikan dalam setiap permasalahan. Selain itu dilaksanakannya puasa dengan khusyu', tawadhu', dan tawakal akan menentramkan diri pada ketentuan Allah bahwa apa yang disisi Allah adalah kekal, sedangkan yang ada di tangan manusia fana sifatnya, tidak kekal.

5. Kedudukan Orang yang Berpuasa

Rasulullah SAW mendudukan posisi orang yang berpuasa pada tingkatan yang tinggi dan mulia, karena "bau busuk mulut orang yang berpuasa lebih berharga dari harumnya aroma kasturi". Maka cobalah anda renungkan, adakah ibadah semulia ibadah puasa? Lalu mengapa kedudukan itu begitu mulia? Karena mulut orang yang berpuasa, yang mengosongkan perutnya dari makan, minum dan syahwat; yang menjaga lisannya dari pembicaraan sia-sia, mempunyai kedudukan agung di sisi Allah. Inilah wujud syukur dan ketaatan orang mukmin.

6. Dua Kegembiraan

Kegembiraan orang berpuasa sungguh tiada terkira, dan ini hanya dapat dirasakan oleh mereka yang berpuasa dengan baik dan benar tentunya. Kegembiraan pertama adalah tatkala berbuka dan anugerah 'iedul fitri berupa kembali dalam kesucian (fitrah). Pada saat itulah ia merasakan nikmatnya ibadah dan ketaatan,terbebas dari hawa nafsu, lulus dari berbagai ujian dan cobaan. Dan hanya taufiq dan hidayah Allah saja kita bisa merasakan kenikmatan tersebut. Adapun kegembiraan di akhirat adalah saat bertemu Allah, saat mengetahui bahwa ibadah dan ketaatannya diterima di sisi Allah, dan ketika menerima balasan surga yang dijanjikan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi lainnya, "Shaum adalah tameng yang dengannya seorang hamba terlindung dari api neraka, dan shaum adalah untuk-Ku dan Akulah yang akan langsung membalasnya" (HQR Ahmad, Baihaqy dari Jabir bin Abdillah ra).



dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

30 Desember 2008

Menggapai Hakikat Puasa

Rasulullah SAW bersabda,

"Man lam yada' qaulazzuuri wal 'amala bihi falaisa lillaahi haajatun fii an-yada'a tha 'aamuhu wa syaraabuhu... Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan pengamalannya, maka Allah tidak memerlukan atas meninggalkan makan dan minumnya" (HR. Bukhari).

Para Ulama membagi puasa menjadi tiga tingkatan:
  1. Puasa 'Ammah (puasa pada umumnya)
    Yakni menahan perut dari makan dan minum serta menahan kemaluan untuk melampiaskan syahwat.
  2. Puasa Khashshah (puasa khusus)
    Yaitu menahan pandangan, lidah, tangan, kaki, dan pendengaran, penglihatan serta seluruh anggota tubuh dari dosa.
    Ini termasuk adab-adab penting untuk meraih nilai keutamaan puasa. Agar Allah berkenan menerima ibadah kita.
    Langkah untuk meraih puasa khusus ini diantaranya tidak memenuhi perutnya dengan makanan di malam hari, tapi sekedarnya saja sebatas kebutuhan. Terlalu banyak makan akan menimbulkan kemalasan, melemahkan jiwa, dan meningkatkan syahwat.
  3. Puasa Khaashshatul Khaash (puasa khusus yang khusus)
    Yakni puasanya hati dari hasrat-hasrat yang hina dan pikiran-pikiran yang menjauhkan diri dari Allah, serta menahan diri dari hal-hal selain Allah secara keseluruhan. Inilah puasa paling utama dan paling tinggi kedudukannya.
    Adabnya adalah dengan meninggalkan hal-hal yang sia-sia dan tidak berguna.
    Allah SWT berfirman,
    "Qad aflahal mu'minuuna... alladzina hum fii shalaatihim khaasyi'uun walladzina hum 'anil-laghwi mu'ridhuun..." "Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya, dan orang-orang yang meninggalkan diri dari perkara sia-sia..." (Al-Mu'minun: 1-3).
    Rasulullah SAW bersabda, "Husnil islaamil mar'i tarkuhu maa laa ya'niihi... di antara tanda kebaikan keislaman seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak berguna baginya" (HR. Muslim).
Selain itu, kualitas ibadah seseorang salah-satunya ditentukan pada sejauh mana kemampuannya menahan lisan. Mengapa? Karena banyak bencana yang timbul "gara-gara" tergelincirnya lisan.

Rasulullah SAW bersabda,
"Barang siapa menjamin dan memelihara untukku apa yang ada di antara kumis dan janggut (yakni lisan) dan yang ada diantara dua pahanya (yakni kemaluan) niscaya aku menjamin baginya surga" (HR. Abu Dawud).


dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

29 Desember 2008

Kaifiyat (Petunjuk Praktis) Berpuasa

Apabila kita telah masuk dalam malam pertama dari bulan Ramadhan. Berniatlah pada malam itu bahwa kita akan berpuasa pada esok hari. Mulai pada malam itu tegakkanlah shalat tarawih secara berjamaah. Disamping itu ada beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam melaksanakan ibadah bulan Ramadhan dengan "sukses", sebagai berikut:

  1. Setelah masuk waktu sahur, yakni menjelang waktu subuh, hendaklah sahur, Rasulullah bersabda,
    "Tasahharuu fainna fissahuuri barakah... Bersahurlah karena di dalam (makan) sahur itu ada barakah" (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).
    "Tasahharuu walau bijur 'atimmimmaa'in... Bersahurlah meskipun hanya seteguk air" (HR. Ibnu Hibban).
  2. Sesudah bersahur dengan memelihara adab-adabnya, bersihkanlah mulut dengan sebersih-bersihnya dan nantikanlah waktu subuh.
  3. Apabila telah terbit fajar, tahankanlah diri dari makan, minum, menyimak istri, dan segala hal yang membatalkan puasa.
  4. Seusai shalat subuh, bacalah Al-Qur'an sesuai dengan kemampuan.
  5. Di siang hari hendaklah menjauhkan diri dari perbuatan haram, bahkan menjauhkan diri dari pekerjaan yang makruh dan sia-sia.
  6. Usahakankah agar selalu shalat fardhu dapat dilaksanakan secara berjama'ah.
  7. Sedapat mungkin agar tiap hari menyediakan waktu sesudah shalat untuk membaca Al-Qur'an.
  8. Bila Matahari telah nyata terbenam, bersegeralah berbuka puasa dengan sedikit makan yang manis dan lezat. Sesudah itu tunaikan shalat maghrib. Sesudah shalat maghrib baru menyempurnakan makan dengan mengikuti adab-adab berbuka. Tiap malam kerjakan shalat lail, atau qiyam Ramadhan.
  9. Bila telah memasuki sepuluh hari terakhir Ramadhan, tingkatkan ibadah dengan melaksanakan i'tikaf dan menggapai Lailatul Qadar yang terletak di salah satu malam ganjil pada sepuluh hari terakhir.

Kiat Menyempurnakan Puasa

Supaya puasa dapat dilaksanakan dengan sempurna, berikut ini beberapa tips tambahan yang penting diperhatikan dan dipraktekkan dalam amaliyah Ramadhan.
  1. Makan sahurlah supaya anda lebih kuat menghadapi puasa. Seluruh umat Islam menentukan sunahnya sahur dan makruh apabila ditinggalkan. Sahur ahsannya (lebih baik) dilambatkan asal jangan dekat sekali dengan fajar subuh. Apabila ragu tentang terbit fajar, maka ia boleh terus makan dan minum sampai diyakini terbitnya fajar.
  2. Berbuka bila telah nyata terbenam matahari dengan sedikit kurma dan minuman, kemudian shalat maghrib.
  3. Berdoa kepada Allah di waktu berbuka dan berdzikir di celah-celah puasa, memperbanyak taubat, memperbanyak kebajikan dan menjauhi segala yang dibenci Allah. Doa berbuka puasa,"Allahumma laka shumtu, wabika aamantu wa 'ala rizqika aftartu fataqabbal minna innaka antassami'ul 'aliimu... Wahai Tuhanku, untuk-Mu aku berpuasa, dan kepada-Mu aku beriman. Dengan rezeki-Mu aku berbuka, maka terimalah amal kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui".
  4. Mandi sebelum fajar dari hadast besar, supaya memasuki puasa dalam keadaan suci.
  5. Menahan lidah dari perkataan dusta, bertengkar serta segala perkataan yang tidak baik dan tidak bermanfaat, seperti mengumpat, memfitnah, ghibah (menggunjing) atau memperkatakan kehormatan orang lain.
  6. Menahan diri dari pengaruh marah dan dari bersikap kurang wajar, kurang sabar dan sikap yang tidak etis lainnya.
  7. Selalu berusaha mencari ridha dan meningkatkan ketaqwaan kepada Allah dan mensyukuri segala nikmat-Nnya.
  8. Bermurah-tangan, banyak membantu kesusahan dan kesibukan orang lain, bersedekah, murah senyum, dan sebagainya.
  9. Menggunakan setiap waktu di bulan Ramadhan untuk mendalami masalah agama, memperbanyak ibadah dan amal shalih, menambah persaudaraan, banyak memberikan layanan sosial pada umat.
  10. Selalu berpegang teguh untuk tidak mencari makan kecuali yang halal, suci, thayyib, bergizi tinggi, agar tidak menjadikan perut timbunan "barang haram", serta menafkahkannya di jalan Allah.
  11. Memelihara jiwa dari berbagai macam penyakit dengki, hasad, iri, ujub, takabur, riya', dan memelihara seluruh anggota tubuh dari berbagai kemaksiatan, selalu bersikap tenang menjaga iffah, harga diri dan kehormatan. Dan berbagai amalan ruhani, lisan maupun anggota badan yang makin menambah "nilai taqwa".

Tips:

Beberapa buku yang laik dibaca di bulan Ramadhan:
  1. Terapi Mental Aktifis Harakah, Sayyid Muhammad Nuh, Penerbit Mantiq, Solo
  2. Menyucikan Jiwa, Dr. Ahmad Faried, Risalah Gusti, Surabaya.
  3. Menyucikan Jiwa, Abu "Izzudin, CIP, Solo.
  4. Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi.
  5. Mukhtashar Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Kautsar, Jakarta.
  6. Terapi Penyakit Hati, Ibnul Qayyim, Mantiq, Solo.
  7. Niat dan ikhlas, Dr. Yusuf Qardhawi, Al-Kautsar, Jakarta.
  8. Tawakkal, Dr. Yusuf Qardhawi, Al-Kautsar, Jakarta.
  9. Fiqh Puasa (Fiqh Shiam), Dr. Yusuf Qardhawi, CIP, Solo, atau Islamuna Press, Jakarta.
  10. Pedoman Puasa, Prof. Dr. TM Hasbi Ash-Shiddiq, Bulan Bintang, Jakarta.



dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

27 Desember 2008

Istiqamahlah...!

Dari Abi Amr, Amrah bin Sufyan bin Abdullah ra. ia berkata, "Saya telah berkata kepada Rasulullah SAW... "Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku dalam Islam suatu perkataan yang saya tidak akan bertanya tentang itu kepada orang lain selain Anda." Maka Rasulullah SAW bersabda, "Qul...! Aamantu billaahi tsummastaqim... Katakanlah, aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah!" (HR. Muslim).

Sebagai catatan akhir di bulan Ramadhan, hadits ini penting sekali direnungkan. Karena memasuki hari-hari Syawal dan selanjutnya, nuansanya lain. Suasana dan nilai rasa "pengaruh" ibadah tidak lagi seindah di bulan Ramadhan yang begitu kompak dan serempak. Nah keadaan semacam ini harus kita sikapi dengan tepat yaitu dengan menjaga istiqamah.

Istiqamah atau konsisten artinya tetap berpegang-teguh dalam ketaatan dan senantiasa menjauhi yang dilarang. Bisa juga bermakna berpegang-teguh kepada agama secara kuat, berjalan di atasnya sesuai petunjuk Allah dengan menunaikan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangannya. Termasuk dalam sikap istiqamah juga menjaga amal-amal shalih yang sudah dikerjakan untuk terus-menerus dikerjakan bahkan ditingkatkan, hingga akhir hayat dalam keadaan husnul khatimah.

"Sesungguhnya Allah mencintai amal seseorang yang dikerjakan terus-menerus meskipun itu (amal) yang kecil".

Allah berfirman,
"Maka beristiqamahlah sebagaimana engkau diperintahkan dan orang yang bertaubat bersamamu" (Hud: 112).

Dan firman Allah,
"Sesungguhnya orang-orang yang berkata, "Tuhan kami adalah Allah" kemudian beristiqamah, maka turunlah kepada mereka malaikat-malaikat" (Fushshilat: 30).

Dan mereka -orang yang istiqamah- akan senantiasa gembira karena mendapat kabar gembira dari malaikat.
"Janganlah kalian takut dan janganlah kalian resah dan bergembiralah dengan syrga yang dijanjikan kepada kalian" (Fushshilat: 30).

Unsur-Unsur Istiqamah

Orang muslim mestinya menjaga sikap istiqamah dalam segala hal. Sebagaimana Rasulullah SAW,
"Laa yastaqim iimaanu 'abdin hattaa yastaqim quluubahu, walaa yastaqim quluubahu hattaa yastaqim lisaanahu".

"Tidak akan lurus iman seseorang sebelum lurus hatinya, dan tidak akan lurus hati seseorang sebelum lurus lisannya".

1. Istiqamah Iman

Seorang mukmin harus selalu menjaga imannya agar tidak terjerumus dalam kekufuran atau kemurtadan (Ali Imran: 100-102; Al-Maidah: 54). Untuk itu ia harus menjaga komitmennya terhadap ajaran Islam dan selalu memeliharanya. Caranya adalah dengan melaksanakan Islam sepanjang kehidupannya. Karena hidayah iman Islam itu bisa saja hilang dari tubuh mukmin manakala tidak dijaga dengan baik. Maka tepat bila Imam Al-Ghazali menulis buku "Bidayatul Hidayah", cara merawat hidayah yakni dengan selalu menunaikan ibadah secara utuh dan menyeluruh sepanjang hayat. Sebagai renungan mendalam dari sabda Rasul bahwa seseorang bisa masuk surga atau neraka, tergantung titik akhir kehidupannya. "Demi Allah. Yang tiada Ilah selain Dia, sesungguhnya diantara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli surga sehingga jarak antara dia dan surga tinggal sejengkal, maka tiba-tiba ketentuan jatuh kepadanya sehingga ia melakukan amalan ahli neraka, maka ia menjadi ahli neraka. Dan sungguh ada seorang diantara kalian beramal dengan amalan ahli neraka, hingga jarak dia dengan neraka tinggal sejengkal, tapi kemudian dia beramal dengan amalan ahli surga, maka surgalah tempat ia kembalinya" (HR Bukhari dan Muslim).

Nah, karena kematian adalah sesuatu yang pasti, maka kita harus menyongsongnya dengan bekal amal shalih sebanyak-banyaknya. Selain itu kematian adalah ghaib, yakni sesuatu yang pasti tapi tidak kelihatan, maka kita harus selalu siap menyambutnya dengan sikap istiqamah Islam. Di samping itu kematian akan datang tiba-tiba tanpa pemberitahuan lebih dulu, maka dari itu kita harus waspada untuk segera beristighfar bila terjerumus dalam dosa dan selalu berebut kesempatan amal shalih.

2. Istiqamah Hati

Yang menentukan lurusnya iman seseorang adalah hatinya. Karena ia adalah "remote control" yang akan menggerakkan seluruh amal dan aktivitas. Rasulullah SAW bersabda, "Alaa inna fil jasadi mudhghah idzaa shaluhat shaluhal jasadu kulluhu wa idzal fasadat fasadal jasadu kulluhu... Alaa wahiyal qalbu... Ketahuilah bahwa di dalam tubuhmu ada segumpal daging, jika ia baik maka baik seluruh tubuh, dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh tubuh... ketahuilah bahwa ia adalah hati" (HR bukhari dan Muslim).

Untuk itu, setiap muslim mesti menjaga hatinya agar tetap bersih, bersinar dan memberikan kekuatan yang handal untuk beramal shalih. Karena hati yang bersih tidak akan puas beramal shalih sebanyak-banyaknya, sementara hati yang "buta" tidak akan puas dengan kemaksiatan yang diperbuatnya. Oleh karena itu, "hati-hati lah dengan hati anda".

3. Istiqamah Lisan

Lisan seseorang merupakan cerminan dari isi hatinya. Artinya bila hati dan iman seseorang terkondisi dengan baik, terbina dan terpelihara dalam ibadah, niscaya akan melahirkan tutur kata yang baik, dan lembut. Rasulullah SAW bersabda, "Man kaana yu'minu billahi wal yaumil aakhiri fal yaqul khairan au liyashmuth... Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berkata yang baik atau diam" (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam khazanah Jawa ditegaskan bahwa "ajining diri dumunung ana ing lathi...". Nilai kepribadian seseorang terletak pada lisannya. Nah untuk itu kita harus menjaga perkataan kita agar selalu manis, lembut dan menyejukkan hati. Sehingga orang merasakan manfaat dan keberadaan kita di tengah umat. Rasulullah SAW bersabda, "Khairun naasi anfa'uhum linnaasi... Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain" (HR Tirmidzi).

Semoga Allah menerima amal ibadah kita dan menjadikan kita orang selalu beristiqamah dalam kebenaran, dalam iman dan Islam. Selamanya.

Taqabbalallahu minna wa minkum, taqabbal yaa kariim
.




dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

26 Desember 2008

Bersama Rasulullah Menyambut 'Iedul Fitri

Hari Raya Idul Fitri merupakan saat-saat yang paling membahagiakan bagi kaum muslimin-mukminin, terkhusus bagi mereka yang "sukses" dalam amaliah Ramadhan. Mengapa? Karena Idul Fitri sebenarnya "milik para shaimin", "laisal 'iid liman labisal jadiid, walaakinnal 'ied man thaa-atuhu yaziid... Idul Fitri bukanlah bagi mereka yang baru bajunya tetapi 'ied yang hakiki adalah bagi mereka yang ketaatannya meningkat...".

Hari Raya Idul Fitri berlangsung sesudah kaum muslimin menunaikan ibadah puasa sebulan penuh, pada Ramadhan yang penuh berkah, untuk memenuhi kewajiban dari Allah yang pada hakikatnya adalah kebutuhan kita, yakni beribadah dengan sebenar-benarnya untuk meraih cinta dan maghfirah-Nya.

Hari Raya Idul Fitri disebut sebagai hari Jawaiz diriwayatkan dari Az-Zuhri, "Jika hari raya idul fitri tiba, orang-orang pada keluar menghadap Tuhan Yang Maha Kuat, yang tengah menampakkan diri kepada mereka seraya berfirman, "Hamba-hamba-Ku, kalian telah berpuasa untuk-Ku, beribadah malam hari kepada-Ku, maka sekarang, kembalilah kalian dalam keadaan terampuni".


Kisah Rasul Menyambut Idul Fitri

Ada sebuah riwayat bahwa Rasulullah SAW pernah keluar dari tempat i'tikaf-nya ikut berbondong-bondong dengan segenap kaum muslimin menuju lapangan untuk shalat hari raya bersama. Hal ini untuk "mendemonstrasikan" di mata kaum kuffar, betapa banyak dan kuatnya kaum muslimin.

Beliau membolehkan kaum wanita untuk ikut keluar ke lapangan, bahkan yang haid sekalipun. Namun Rasulullah membatasi mereka untuk menyisih di pinggir bagi yang haid. Yakni agar mereka semua dapat mendengarkan khutbah, mendapatkan berkah dan doa dari kaum muslimin yang dilaksanakan kaum muslimin yang menjalankan shalat 'ied.

Biasanya Rasulullah berkhutbah 'id setelah melaksanakan shalat hari raya.

Rasulullah SAW pernah melakukan shalat 'id di masjid saat dilanda musim hujan.

Dalam khutbahnya Rasulullah menasehati dan menganjurkan kepada kaum wanita agar gemar bersedekah.

Rasulullah tidak mau pulang melewati jalan yang sama ketika Beliau berangkat. Hal ini dimaksudkan agar Beliau mendapat kesempatan lebih banyak untuk bertemu orang lain dan memanfaatkan semaraknya hari raya untuk dirinya.

Pada hari raya, Rasulullah membolehkan kita bermain dan bersuka ria, berpakaian bagus, dan lain-lain, yang tidak biasanya pada hari-hari biasa.

Anjran-anjuran Rasul sebelum menunaikan shalat 'ied diantaranya, memenuhi kewajiban zakat fitrah sebelum shalat ditunaikan, mandi sebelumnya, memakai pakaian yang terbaik yang dimilikinya, mengenakan parfum dan wewangian, makan pagi dengan beberapa butir kurma (atau sedikit makanan) sebelum berangkat ke lapangan atau masjid, berangkat dengan bertakbir, bertahmid dan bertahlil, untuk menunjukkan 'izzah Islam dan kaum muslimin. Berangkat dan pulang, disunnahkan dengan berjalan kaki dengan jalan yang berbeda.

Kemudian ada hal-hal yang mesti diperhatikan dalam pelaksanaan shalat dan khutbah 'ied, yakni:
  • Tidak diawali oleh azan dan iqamat
  • Tidak ada shalat sunah sebelum dan sesudahnya
  • Waktu pelaksanaan shalat 'ied adalah dari tinggi matahari sekadar tiga meter, hingga tergelincir matahari. Tetapi yang utama adalah disegerakan.

Cara Shalat 'Id
  • Dikerjakan dua raka'at sebagaimana shalat lainnya.
  • Di raka'at pertama dibacakan takbir tujuh kali berulang-ulang sesudah takbiratul ihram dan membaca doa iftitah sebelum ta'awudz dan qira'ah.
  • Antara dua takbir membaca "Subhanallahi walhamdulillah walaa ilaaha illallaahu Allahu akbar".
  • Membaca ta'awudz, Al-Fatihah dan surat pendek. Yang disukai membaca surat Al-A'la pada raka'at pertama dan Al-Ghasyiyah pada raka'at kedua.
  • Pada raka'at kedua membaca takbir lima kali, yakni setelah pembacaan takbir qiyam (takbir saat bangun dari sujud).
  • Seusai shalat 'ied, khatib naik mimbar untuk membacakan khutbah, di sela-sela khutbah dibacakan takbir. Khutbah 'ied ada yang berpendapat "satu kali" dan yang berpendapat dua kali seperti khutbah jum'at.
  • Seusai khutbah membaca doa penutup "subhaana rabbika rabbil 'izzati 'amma yashifun wasalaamun 'alal mursaliina wal hamdulillah rabbil 'aalamien".
  • Hendaknya kaum muslimin mengikuti dan menyimak khutbah 'ied, karena termasuk bagian dari rukun pelaksanaan ibadah sunnah 'ied.
  • Merapikan shaf dan menatanya dalam keteraturan yang sesungguhnya merupakan bentuk kemuliaan dan kejayan risalah Islam.
  • Memperbanyak ucapan syukur dengan bertahmid dan berdzikir. Memperbanyak mohon ampunan kepada Allah Azza wa Jalla. Ingatlah bahwa istighfar menampakkan puasa, sedangkan zakat fitrah menyucikan diri dari perkataan keji dan pebuatan tidak senonoh.

Tahniah 'Ied (Ucapan pada Hari Raya)

Diriwayatkan dari Jubair Ibnu Nufair, bahwa "sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apa bila berjumpa satu sama lain di hari 'ied, mereka mengucapkan taqabalallahu minnaa waminkum... semoga Allah menerima amalan kami dan amalan kalian..." (Menurut ibnu Hajar dalam Fathul Bari -Syarah hadits Bukhari- hadits ini hasan).

Wallahu a'lam.




dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

25 Desember 2008

Bersama Rasulullah di Akhir Ramadhan

Satu perbedaan yang menyolok antara Nabi Muhammad, para sahabat dan umatnya adalah dalam menyikapi amal shalih dan fadhilahnya. Rasulullah SAW dan para sahabat melihat amal shalih sebagai peluang yang "sangat mahal" sehingga saat kehilangan peluang tersebut mereka merasa sangat sedih, karena "belum optimal" dalam mengisinya. Maka tak heran, manusia sekaliber Rasulullah pun masih "rajin" menunaikan shalat malam sampai kaki Beliau bengkak, demikian juga para sahabat, tidak seperti kita.

Dalam menyongsong berakhirnya Ramadhan Rasulullah dan para sahabat menumpahkan kesedihan yang amat mendalam karena berlalunya Ramadhan yang "full" fadhilah dan keberkahan. Sehingga banyak diantara mereka yang menangis, takut dan khawatir, kalau-kalau di tahun berikutnya tidak bisa lagi "menemui" Ramadhan.

Anehnya di saat sekarang ini kita saksikan "akhir Ramadhan" dipandang sebagai puncak dan pintu kebebasan, sebebas-bebasnya. Yakni merasa "bebas" dari kekangan yang membatasi dirinya, seperti makan, minum, bicara, dan bergaul dengan siapa saja. Akibatnya, pasca Ramadhan banyak manusia yang kembali tenggelam dalam lautan dosa dan kemaksiatan, kembali pada keadaan sebelum Ramadhan. Sehingga "hasil" didikan Ramadhan tidak membekas sama sekali.

Untuk itu sebelum mengakhiri Ramadhan, baik sekali untuk terus menerus kita memantau dan mengoreksi diri:
  • Sudah berapa jauh tenaga, pikiran, dan perasaan yang kita curahkan untuk "menghidupkan Ramadhan?"
  • Bagaimana target-target amal kita yang sudah kita canangkan, sejauh mana tingkat keberhasilan kita?
  • Bagaimana sikap istiqamah kita dalam menjaga amalan Ramadhan, dari awal, pertengahan hingga akhirnya? Apakah kita hanya termasuk orang yang "obor-obor blarak" atau "hangat-hangat tahi ayam", yang hanya semangat di awalnya kemudian loyo di akhirnya?
  • Memperbaharui taubat dan senantiasa menjaga diri dalam suasana taubat, sehingga merasakan setiap dosa dan kemaksiatan adalah masalah masa lalu yang mesti kita kubur dalam-dalam, sehingga kemaksiatan yang ada digantikan kebajikan oleh Allah Azza wa Jalla (Al-Furqan: 70).
  • Hendaknya selalu menjaga keikhlasan dalam amal kita, jangan sampai terjebak sikap 'riya, ujub, maupun takabur. Barangkali kita dapat merasakan manisnya "ibadah Ramadhan", tetapi jangan sampai hal itu membuat kita terlena kemudian ujub dan takabur, merasa diri paling...
  • Bila menyaksikan diri sudah tekun beribadah hendaknya kita bertekad untuk meningkatkannya di masa depan. Seakan-akan kita terus terngiang di telinga kita, "Wahai orang yang melakukan kebajikan, teruskan dan tingkatkanlah apa yang kamu lakukan itu. Wahai orang yang lengah dan lalai, hentikan segera kelengahan itu!"
  • Selanjutnya kita harus selalu tunduk kepada Allah seraya memohon agar Dia mengampuni dosa-dosa kita semua, menerima amalan orang yang mau beramal, menerima taubatnya orang-orang lengah, menunjukkan kita jalan yang lurus, meleburkan dosa kita dalam lautan ampunan-Nya dan menjadikan kita orang yang terbebas dari siksa neraka-Nya.
  • Bertekad dan berusaha sekuat mungkin untuk melestarikan nilai-nilai Ramadhan, diantara menjaga istiqamah dalam iman, ibadah dan amal shalih, serta melaksanakan "puasa syawal" selama enam hari, baik mulai tanggal 2 Syawal berturut-turut maupun tidak mesti berturut-turut.


dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

24 Desember 2008

Hikmah Ibadah Zakat

Allah SWT berfirman,
"Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka" (At-Taubah: 103).

Zakat berarti membentuk jiwa sehingga ia akan meningkat kualitas dan terbebas dari ikatan duniawi, suci dari segala noda dan dosa (At-Taubah: 103).

Ada beberapa urgensi pelaksanaan zakat:
  • Membersihkan jiwa dan menyucikannya sebagai pekerjaan utama dan agung (Asy-Syams: 9-10).
  • Zakat infak shadaqah adalah ibadah utama untuk taqarrub ilallah, bukti cinta dan pengorbanan. Fitrah manusia adalah cinta harta (Al-fajr: 20), maka Islam mengarahkan agar kecintaan manusia terhadap harta tidak berlebihan.
  • Manusia tidak pernah puas dengan harta yang ada padanya, untuk itu zakat untuk menyalurkan kecendrungan itu pada "masa depan harta" yang abadi.

Hikmah Pelaksanaan Zakat
  • Merawat harta yang dilimpahkan oleh Allah, sehingga menggunakan harta harus menyesuaikan dengan segala ketentuan Allah.
  • Menghilangkan rasa cinta yang berlebihan terhadap sesuatu yang fana, tetapi mesti menumbuhkan cinta pada yang kekal abadi. Dengan zakat "harta menjadi abadi" dan berguna di masa depan.
  • Orang mukmin merasakan kemuliaan akhlaqnya manakala mampu memberikan kemanfaatan pada orang lain.
  • Agar setiap muslim selalu terpacu untuk berpegang teguh pada syari'at Allah, terlebih dalam zakat ini, yaitu diperintahkannya kita untuk mencari rezeki yang halal dan menyalurkannya pada ketentuan Allah.
  • Membangun kepedulian sosial yang tinggi, guna merasakan bahwa dirinya adalah bagian dari keseluruhan umat manusia di dunia.
  • Sebagai latihan awal untuk pengorbanan yang besar, zakat adalah "pengorbanan yang diwajibkan". Bila seseorang muslim telah terlatih, maka ia akan siap dan sigap menerima perintah "pengorbanan" yang lebih besar. Dan menunaikan zakat adalah kewajiban, yang merupakan tataran terendah dari moral. Maka untuk meraih derajat moral yang tinggi bukan saja menunaikan yang wajib saja tapi juga infaq sunah.
  • Zakat merupakan sarana tarbiyah bagi setiap muslim, bahwa seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dan ia mestinya menjadi "kran rezeki" bagi saudaranya.
  • Menghilangkan penyakit hubbud dunya wa karaahiyatul maut, cinta dunia dan takut mati.
  • Agar seorang muslim senantiasa hidup dengan berorientasi ke depan, merencanakan masa depan sejak dini.
  • Agar harta-harta orang kaya tidak hanya berputar dikalangan mereka saja, tetapi juga menjangkau ke bawah. Hal ini akan menjembatani terjadinya "gap sosial" atau kesenjangan, sehingga antar lapisan masyarakat makin akrab.
  • Menciptakan ketentraman dan ketenangan masyarakat, yakni terciptanya kepedulian sosial yang tinggi akan mencegah terjadinya friksi atau perpecahan. Bila masing-masing menunaikan kewajiban dan memenuhi hak-hak sesamanya akan menciptakan harmoni kehidupan, dan saling menjaga. Yang kaya melindungi simiskin sedang yang miskin menjaga harta orang kaya.
  • Untuk menyadarkan umat akan adanya perbedaan perolehan rezeki yang diwujudkan dengan rasa syukur (Allah Az-Zukhruf: 32; Al-Qashash: 78; Asy-Syura:27).
  • Mendorong penggunaan harta yang multi player (efek ganda) dan multi guna (Al-Baqarah: 261).
  • Menyadarkan setiap muslim bahwa Allah Maha Suci, Dia tidak menerima kecuali yang baik, bersih dan suci (Al-Baqarah: 267; Ali Imran: 92). Sehingga tiap muslim terdidik untuk "hanya" memberi yang terbaik kepada siapapun, terlebih kepada Allah, dan juga selalu berusaha berprestasi dalam beramal.


dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

23 Desember 2008

Syukur

Allah SWT berfirman, "Jika kalian bersyukur sungguh akan Kami tambah Nikmat kalian, akan tetapi jika kalian ingkar (ketahuilah) sesungguhnya azab Allah sangat pedih" (Ibrahim: 7).



Pernahkan kita berpikir tentang fasilitas gratis yang diberikan Allah kepada kita: nyawa, udara, air, kesehatan, kesempatan, kelengkapan anggota tubuh, kemampuan berpikir, daya rasa dan sebagainya? Atau ketika kita makan, pernahkah kita berpikir bagaimana asal makanan, cara pengolahan, siapa yang menanam, dan siapa yang menumbuhkan serta membesarkan dengan segala fasilitasnya? Atau saat kita menanam tanaman, berapa prosen kita dalam menumbuhkan tanaman itu, yang tiba-tiba saja sudah besar, berbunga, dan berbuah? Siapakah yang memberi dan merancang buahnya? Allahu Akbar, semua itu adalah karunia dan kekuasaan Allah semata.

Penting disadari bahwa ketika kita bersyukur, sebenarnya kesyukuran itu adalah untuk kita, kebutuhan kita dan kembalinya untuk kita juga. Allah berfirman, "Wa man syakara fa-innamaa yasykuru kariimun... Dan barangsiapa bersyukur, sesungguhnya syukur itu untuk dirinya sendiri dan barangsiapa kufur sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Mulia".

Makna syukur adalah memanjatkan pujian kepada sang Maha Pemberi Nikmat, atas keutamaan dan kebaikan yang dikaruniakan kepada kita.


Rukun-rukun Syukur

Yaitu segala hal yang wajib dipenuhi agar kita bisa bersyukur secara sempurna, yaitu:
  • Mengakui kenikmatan secara bathiniyah
  • Mengucapkannya secara lahiriyah
  • Menggunakannya sebagai motivasi untuk meningkatkan ibadah kepada Allah
Syukur berarti perpaduan perilaku antara amalan hati, lisan dan anggota badan. Ini berarti ciri orang yang jujur dan juga syarat agar iman terwujud sempurna.

Termasuk dalam wujud syukur adalah menempatkan segala pemberian Allah untuk mencari keridhaan-Nya. Proporsional, adil menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Lisan untuk berkata baik, tangan untuk bekerja dan ibadah, mata untuk membaca dan menelaah ayat-ayat Allah, telinga untuk mendengar yang baik, perut diisi dengan barang halal, hati disuburkan dengan dzikrullah, dan seterusnya dalam segala amal yang dicintai Allah.


Keutamaan Syukur
  • Memperoleh kenikmatan melebihi kenikmatan yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang lain (Al-An'am: 53).
  • Diberi tambahan dari nikmat yang sudah ada(Ibrahim: 7).
  • Diberi pahala yang sangat besar (Ali Imran: 145).

Macam-macam Syukur
  • Syukur dengan hati adalah dengan rakus terhadap kebaikan dan menyebarluaskannya kepada orang lain.
  • Syukur dengan lidah, yakni menampakkan syukur itu kepada Allah dengan cara memuji-Nya.
  • Syukur dengan anggota badan, yakni mempergunakan anggota badan untuk taat kepada-Nya dan tidak digunakan untuk mendurhakai-Nya.
  • Syukur dengan mata, dengan menutup aib yang dilihatnya pada semua orang.
  • Syukur dengan telinga, yakni menutupi semua aib yang didengarnya.

Teladan Syukur Rasulullah

Disebutkan dalam Shahihain bahwa Nabi SAW tidak pernah meninggalkan qiyamullail (shalat malam), hingga kaki Beliau bengkak. Maka ketika ada yang bertanya kepada Beliau, "Ya Rasulullah, mengapa Anda rajin menunaikan shalat malam, bukankah Allah telah menjamin bahwa Anda bebas dari segala dosa, baik yang telah lalu maupun yang akan datang?" Beliau menjawab, "Afalaa akuuna 'abdan syakuuran?... Tidak bolehkah Saya menjadi hamba yang bersyukur?"



dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

22 Desember 2008

Membangun Kesabaran, Meraih Kemenangan

Allah Azza wa Jalla berfirman, "Sesungguhnya Aku memberi balasan kepada mereka pada hari ini, karena kesabaran mereka, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang menang" (Al-mu'minun: 111).

Allah menyebutkan kata-kata sabar dalam Al-Qur'an di sembilan puluh tempat, dengan berbagai variasinya.

Urgensi Sabar
  1. Sabar sangat terkait erat dengan kemenangan (Al-Mu'minun: 111).
  2. Allah senantiasa menyertai orang-orang yang sabar. Allah Azza wa Jalla berfirman, "...dan bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar" (Al-Anfal: 46).
  3. Sabar merupakan prasyarat untuk laik menjadi pemimpin. Allah Azza Wa Jalla berfirman, "Dan Kami jadikan diantara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, ketika mereka sabar dan selalu meyakini ayat-ayat Kami" (As-Sajadah: 24).
  4. Sabar dan taqwa, dua sejoli yang akan mampu meneguhkan diri dari berbagai tipu daya. Allah Azza wa Jalla berfirman, "Jika kamu bersabar dan bertaqwa, niscaya tipudaya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan" (Ali-Imran: 120).
  5. Sabar dan taqwa kunci sukses.
    "Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah waspada dan bertaqwalah kepada Allah, supaya kalian beruntung" (Ali Imran: 120).
  6. Kegembiraan orang-orang yang sabar. (Al-Baqarah: 155-157)

Macam-macam sabar
  1. Sabar yang berkaitan dengan fisik, misalnya ketabahan memikul beban berat dengan fisik, melakukan kerja berat dari berbagai ibadah dan sebagainya.
  2. Sabar berkaitan dengan psikis, yakni dalam menghadapi hal-hal yang diingini tabiat dan nafsu. Contohnya kesabaran perut dan nafsu kemaluan yang dikenal dengan iffah (menjaga diri dari hal-hal yang hina). Sabar dalam peperangan disebut syaja'ah (keberanian). Sabar dalam menahan amarah disebut hilm (kemurahan hati). Sabar dalam menghadapi kasus yang mengguncangkan yaitu sa'atu shadrin (lapang dada). Sabar dalam menyaksikan kelebihan duniawi disebut zuhud (menahan diri dari keduniawian dan meyakini bahwa yang disisi Allah-lah yang kekal abadi). Sabar dalam menyimpan rahasia disebut kitmanu sirrin (menyembunyikan rahasia). Dan sesungguhnya sabar ini begitu lekat dengan pribadi manusia pilihan. Seperti keberanian Khalid bin Walid, kitmanu sirrin Hudzaifah ibnul Yaman, zuhudnya Abu Dzar Al-Ghifari, dan masih banyak lainnya yang bisa kita baca dalam "karakteristik 60 sahabat".


dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

21 Desember 2008

Membangun Akhlaq Jujur

Allah Azza wa Jalla, berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan jadilah kalian bersama orang-orang yang jujur (shiddiq)" (At-Taubah: 100).

Kejujuran adalah harta termahal yang merupakan barang langka, terlebih di era global semacam sekarang.

Kejujuran merupakan satu kesatuan dengan iman sehingga bila hilang kejujuran berarti tidak ada lagi iman. (Al-Hujurat: 15).

Al iimaanu tashdiiqu bil qalbi wa iqraaru billisani wa'amalu bil arkaan... iman adalah pembenaran dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan.

Kejujuran merupakan pintu kebaikan dan jannah (surga) sebagaimana dusta merupakan pintu dosa dan kemaksiatan, serta akan menjerumuskan ke neraka. Ash-shidqu yahdii ilal birri wal birri yahdi ilal jannati... wal kaadzibu yahdi ilal fujuuri wal fujuuri yahdi ilannaari...

Kejujuran ada dua macam, pertama, kejujuran lahiriyah yaitu jujur dalam ucapan dan jujur dalam perbuatan. Kedua, kejujuran bathiniyah, yaitu dalam hati.

Buah-buah kejujuran
  1. Ketenangan hati dan kelapangan jiwa.
    Rasul SAW bersabda, "Ash-shidqu thuma'nii natun... kejujuran melahirkan ketenangan jiwa".
  2. Bertambahnya keberkahan dalam usaha.
    Rasul SAW bersabda, "Jual beli dengan sistem khiyar (boleh memilih) sebelum keduanya berpisah. Allah memberkahi mereka dalam jual belinya. Akan tetapi jika mereka curang dan dusta Allah memutus barakah dalam jual beli tersebut" (HR. Bukhari).
  3. Mendapat kedudukan mulia laiknya syuhada.
    Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa memohon syahid kepada Allah dengan jujur (sebenar-benarnya), maka Allah akan menyampaikannya (atau menempatkannya) pada kedudukan syuhada meskipun ia mati ditempat tidur" (HR. Muslim).


dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

20 Desember 2008

Membaca Aib Diri

Salah satu cara penting untuk meningkatkan kualitas kepribadian seorang mukmin adalah dengan senantiasa muhasabah an nafs, koreksi diri.


Dan salah satu bentuk koreksi diri itu adalah dengan membaca aib diri. Mengapa?

Salah satu aib diri yang menimpa seseorang mukmin adalah anggapan jiwa bahwa ia akan selamat. Perasaan ini selalu memenuhi wadah hati saat ia baru saja melaksanakan ibadah dan dzikir serta ketaatan lainnya. Ini merupakan kelihaian dan tipu daya syetan dalam membuat seseorang terlena dengan ibadahnya sendiri. Padahal belum tentu Allah menerima ibadah tersebut, dari sinilah selanjutnya setan menyeretnya secara perlahan untuk melakukan dosa. Lalu bagaimana terapinya?

Menurut As-Sirri As-Sagathy adalah dengan senantiasa mengikuti jalan petunjuk, memakan makanan yang halal dan thayyib serta senantiasa menyempurnakan ketaqwaan.

Langkah-langkahnya:

Agar seorang mukmin mampu memberikan terapi pada kedalaman ruhaninya, maka penting baginya untuk mengetahui borok dosa yang bersemayam dalam dirinya. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi mengatakan dalam kitabnya Mukhtashar Minhajul Qashidin:

"Sesungguhnya Allah Ta'ala ketika menghendaki kebaikan pada hambanya, Dia paparkan air-aib dirinya. Barang siapa telah memiliki bashirah, maka aib-aibnya tiada akan menakutkannya. Tatkala tahu aib dirinya, dia tetapkan terapi penyembuhannya. Tetapi kebanyakan manusia bodoh terhadap aip dirinya. Seseorang melihat debu di mata saudaranya, tetapi tidak melihat batang kayu di depan matanya (sendiri)".

Untuk dapat membaca aib diri, lakukanlah langkah-langkah berikut ini:
  1. Duduk bersama para syaikh yang akan dapat menunjukkan aib-aibnya, memberikan nasehat dan taujih (pengarahan). Ia akan mengetahui aib-aib diri beserta terapinya. Namun ini merupakan persoalan sulit di zaman ini, karena sedikitnya syaikh yang mukhlis.
  2. Mendatangi sahabat-sahabat yang shalih dan jujur, guna mendapat bashirah diniyah (pandangan keagamaan) yang lurus dan gamblang. Sehingga pemahamannya sangat jelas tentang kemungkaran, kemudian mengarahkan dirinya agar menjauhi kemungkaran, dengan akhlaq dan tindakannya. Jadi mengetahui ciri kebathilan adalah wajib, karena wajib bagi kita untuk menjauhinya dan wajib juga mencegah diri dari kemunkaran.
  3. Membaca aib diri dari cercaan musuh pada diri kita. Karena pandangan mata orang dalam menilai kejelekan orang lain lebih tajam. Ini berarti kita harus banyak mendengar dan mencari informasi kejelekan diri dari orang lain, buka telinga lebar-lebar tutup mulut rapat-rapat.
  4. Berinteraksi atau bergaul dengan setiap golongan manusia. Maka tatkala menyaksikan kejahatan-kejahatan yang ada di masyrakat, jauhilah!
Itulah beberapa langkah yang dapat ditempuh dalam rangka membaca aib diri kita dengan satu harapan agar semakin hati-hati dalam melangkah dan lebih banyak berkaca pada diri sendiri.



dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

19 Desember 2008

Jalan Menuju Mahabbatullah

Allah Azza wa Jalla berfirman,

"Di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah, dan Allah Maha Penyantun kepada pada hamba-Nya"(Al-Baqarah: 207).

Setiap manusia tidak akan mampu dan tidak dapat melepaskan diri dari cinta, karena cinta merupakan asal dari proses penciptaan manusia itu sendiri. Cinta adalah syu'ur (perasaan) yang tiada dapat dilihat oleh mata, didengar oleh telinga. Dan secara fitri manusia akan merasakan hentakan cinta yang meledak-ledak pada sosok yang menyandang segudang kesempurnaan predikat seperti indah, cantik, agung, anggun, penyantun, ramah, pemurah, penyayang, lembut. Di samping itu orang juga tertarik untuk mencintai sosok yang serba lebih, dari keperkasaannya, kekayaan, keadilan, kecanggihan, dan segala sifat kesempurnaan yang ada padanya . Dan cara untuk mencintai sosok ideal dan idaman itu adalah dengan mengenal, menginteraksi diri atau (bergaul) dengannya, menyendiri, berasyik-masyuk tanpa ingin diganggu. Itulah cinta. Dan sebagai wujud rasa cinta seseorang rela mengorbankan apa saja yang ada padanya, waktu, tenaga, pikiran, perasaan, harta, bahkan jiwa raganya untuk membahagiakan dirinya. Mengapa? Karena seorang pecinta butuh pengakuan dari yang dicintainya, sanjungan, penghargaan, penghormatan dan sebagainya.

Bila direnungkan orang-orang yang berimanpun merasakan getar-getar cinta tersebut. Dan getaran tersebut demikian agung karena yang dicintainya adalah dzat atau sosok yang sempurna dalam segala sisinya, tanpa cela sedikitpun. Maka orang mukminpun mencintai Allah sebagai Dzat yang Maha Sempurna, dengan cinta yang mendalam "Walladziina aamanuu asaddu hubbal lillahi... dan orang-orang yang beriman amat sangat cintainya kepada Allah..." (Al-Baqarah: 165).

Namun patut diingat untuk meraih "manisnya cinta" segudang pengorbanan harus diberikan, jalan terjal harus didaki, sejuta rintang harus diterjang... Demikian juga cinta kepada Allah sebagai semulia-mulia cinta butuh berbagai "tumbal" untuk menggapainya, diantaranya dengan:

1. Taubat Nashuha

Agar kecintaan seseorang diterima, maka ia harus memohon ampun (bertaubat) kepada yang dicintainya, yakni Allah Azza wa Jalla, atas segala dosa dan kesalahan, dengan taubat yang sebenar-benarnya (At-Tahrim: 8), dengan meninggalkan segala dosa dan kesalahan, menjauhkan diri dari maksiat, menyesalinya, tidak mengulangi kesalahan, dan berjanji serta berusaha untuk berbuat yang lebih baik di masa depan. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat (al-Baqarah: 222).

2. Sabar dan Syukur

Orang yang dicintai biasanya akan memberikan beberapa ujian kepada yang mencintainya. Demikian juga dalam menggapai mahabbatullah seseorang akan mengalami berbagai macam ujian untuk melihat kesungguhan, cobaan untuk mengetes kesabaran, menilai kecintaan, dan mengukur pengorbanan (Al-Baqarah: 155-156). Bentuk ujianpun ada dua, dapat berupa kesenangan maupun kesusahan. Adapun ujian kesyukuran merupakan ujian bagi seseorang tentang nilai rasa dan perhatian terhadap apa yang sudah diberikan oleh sang kekasih (Ibrahim: 7). Makin meningkat kesyukuran makin ditambah kenikmatan yang sudah dikaruniakan, tetapi bila ingkar, tidak mau bersyukur sungguh akan mengundang kemurkaan Kekasih yang telah memberi.

3. Tadabbur Al-Qur'an

Yakni dengan membaca Al-Qur'an, memahami kandungan maknanya, menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari (Muhammad: 24). Dengan memahami kandungan Al-Qur'an akan semakin mengenalkan diri kita kepada sang Kekasih, dengan apa yang diperintahkan dan dicintainya, mengetahui hal-hal yang dilarang dan dibenci. Karena semakin banyak kita mengenal sifat-sifat sang Kekasih akan semakin tumbuh rasa cinta untuk terus membahagiakannya dan mencontoh atau berimitasi dengan sifat-sifat-Nya... Dengan tadabbur Al-Qur'an kita akan mendapat petunjuk hidup yang tepat untuk dapat diwujudkan pada saat-saat yang tepat pula.

4. Taqarrub Ilallah

Salah satu cara meraih cinta sang Kekasih adalah banyak mendekatkan diri dan bertemu sesering mungkin, disaat-saat yang orang lain tidak banyak berdekatan dengan-Nya. Hentakan cinta seorang mukmin mendorongnya untuk selalu dan senantiasa dekat dengan sang Kekasih, yaitu dengan memperbanyak ibadah sunah setelah menunaikan ibadah fardhu. Semakin banyak amal-amal sunah yang dicintai Allah kita kerjakan, semakin besar cinta kita dan semakin besar pula cinta-Nya kepada kita. Itulah cinta yang bersambut, "yuhibbuhum wa yuhibbuunahu... Dia mencintai mereka dan mereka(pun) mencintai-Nya..." (Al-Maidah: 54).

5. Dzikrullah

Sang Kekasih akan merasakan senang dan cinta bila namanya sering disebut, dibaca, diulang-ulang. Sikap mukmin dalam bercinta adalah dengan memperbanyak dzikrullah, mengingat Allah, baik dengan hati, lisan maupun amal perbuatan. Baik dalam keadaan berdiri, duduk maupun berbaring (Ali Imran: 190-191). Baik dalam kondisi puncak keberhasilan, dalam posisi biasa atau saat kalah. Baik saat berkuasa, menjadi rakyat biasa atau bahkan saat terzhalimi.

Cara tepat untuk lebih banyak mengingat dan menyebut asma Allah adalah dengan memperhatikan hasil karya-Nya yang terbentang di seantero semesta.

6. Mempelajari Asma dan Sifat-sifat Allah

Setiap asma dari asma Allah dan sifat-sifat-Nya bila dipelajari, dipahami, direnungkan, sungguh akan meneteskan rasa cinta ke dalam lubuk hati yang paling dalam.

Demikian di antara cara untuk menggapai cinta-Nya dan meraih mahabbah-Nya. Semoga semakin tumbuh cinta kita kepada Allah dan semoga pula Allah menganugerahkan cinta-Nya kepada kita.

Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman, "...Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan pada-Ku dengan suatu amal yang lebih Kusukai daripada amal yang telah Aku fardhukan dan selama hamba-hamba-Ku mendekat-Ku dengan amal-amal sunah sehingga Aku mencintai- nya. Apabila Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk beramal dengannya, menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan, maka jika ia meminta kepada-Ku pasti Aku mengabulkannya, dan kalau ia memohon perlindungan niscaya Aku melindunginya" (HR. Bukhari).



dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

18 Desember 2008

Panduan Menggapai Lailatul Qadar (Malam Seribu Bulan)

Setelah disyari'atkannya ibadah puasa untuk meraih taqwa, maka Allah melengkapi nikmat-Nya dengan Lailatul Qadar (QS. Al-Qadr)




Keutamaan Lailatul Qadar:
  • Ibadah seperti shalat, tilawah Qur'an dan dzikir serta amal sosial (shadaqah, zakat, infaq) yang dilakukan itu lebih utama daripada ibadah seribu bulan (menurut Anas bin Malik ra).
  • Hanya diberikan kepada umat Muhammad SAW, yaitu sebagaimana riwayat Anas bin Malik ra. Rasulullah SAW bersabda, "Lailatul Qadar untuk umatku, dan tidak memberikannya kepada umat-umat sebelumnya".
  • Berkenaan dengan ayat ke-4 Al-Qadr, Abdullah bin Abbas ra. menyampaikan sabda Rasulullah SAW, bahwa pada saat terjadinya Lailatul Qadar para Malaikat turun ke bumi menghampiri hamba-hamba Allah yang sedang melakukan qiyamullail dan melakukan dzikir, para malaikat mengucapkan salam kepada mereka.
  • Pada malam itu pintu-pintu langit dibuka, dan Allah menerima taubat dari hamba-Nya yang bertaubat.
  • Diampuninya dosa-dosanya yang telah lalu. Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa melakukan (qiyam, shalat malam) pada Lilatul Qadar, atas dasar iman dan semata-mata mencari ridha Allah, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya" (HR Bukhari, Muslim dan Baihaqy).
  • Tidak ada malam yang lebih utama dari Lailatul Qadar. Ibnu Abi Syaibah menyampaikan ungkapan Hasan Al Bashri, "Saya tidak pernah tahu adanya hari atau malam yang lebih utama dari malam yang lainnya, kecuali Lailatul Qadar, karena Lailatul Qadar lebih utama dari (amalan) seribu bulan".
Hukum Menggapai Lailatul Qadar:

Sesuai firman Allah Al-Baqarah 185, awal surat Al-Qadr, dan hadits Rasulullah SAW, maka ulama bersepakat bahwa "Lailatul Qadar" terjadi pada malam bulan Rasulullah. Bahkan oleh Ibnu Umar, Abu Dzar, Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Lailatul Qadar bukan hanya terjadi pada masa Rasulullah SAW saja, melainkan ia terus berlangsung pada setiap bulan Ramadhan untuk umat Muhammad sampai hari kiamat.

Adapun persisnya, ada beberapa pendapat:
  1. Lailatul Qadar terjadi pada malam 17 Rasulullah, malam diturunkan Al-Qur'an, sebagaimana disampaikan Zaid bin Arqam, Abdullah bin Zubair ra. (HR Ibnu Syaibah, Baihaqy, Bukhari dalam Tarikh).
  2. Terjadi pada malam-malam ganjil disepuluh hari bulan Ramadhan, Aisyah ra. berkata, Rasul SAW bersabda, "carilah lailatul qadar pada malam-malam ganjil disepuluh hari terakhir bulan Ramadhan" (HR Bukhari, Mulim, Baihaqy).
  3. Lailatul Qadar terjadi pada malam tanggal 21 bulan Ramadhan, berdasarkan hadits riwayat Abu Said Al Khudri ra. yang dilaporkan Bukhari dan Muslim.
  4. Terjadi pada malam tanggal 23 bulan Ramadhan, berdasarkan riwayat Abdullah bin Unais Al-Juhany, oleh Bukhari dan Muslim.
  5. Terjadi pada malam tanggal 27 bulan Ramadhan, hadits riwayat Ibnu Umar, dari Ahmad. Dalam hadits Ibnu abi Syaibah ra. bahwa Umar bin Khathab, Huzaibah serta sekumpulan besar sahabat, yakin bahwa lailatul qadar terjadi pada malam 27 bulan Ramadhan. Rasulullah SAW seperti riwayat Ibnu Abbas juga pernah menyampaikan kepada sahabat yang telah tua dan lemah tak mampu qiyam berlama-lama dan meminta nasehat kepada Beliau kapan ia bisa mendapatkan lailatul qadar, Rasulullah SAW kemudian menasehati agar ia mencarinya pada malam 27 bulan Ramadhan (HR Thabrani dan Baihaqy).
  6. Dari riwayat Ibnu Umar dan Abi Bakrah yang dilaporkan oleh Bukhari dan Muslim, terjadinya lailatul qadar mungkin akan berpindah-pindah pada malam-malam ganjil sepanjang sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Tanda-tanda Lailatul Qadar

Seperti diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi, Rasululllah SAW bersabda, "Pada saat terjadinya lailatul qadar itu, malam terasa sangat jernih, terang, tenang, cuaca sejuk tidak terasa panas dan tidak juga dingin. Dan pada pagi hari matahari terbit dengan jernih terang benderang tanpa tertutup sesuatu awan".

Apa yang perlu dilakukan guna menggapai Lailatul Qadar?
  1. Lebih bersungguh-sungguh dalam semua bentuk ibadah pada hari-hari Ramadhan, menjauhkan diri dari semua hal yang dapat mengurangi keseriusan ibadah pada hari-hari itu.
  2. Mengikut-sertakan seluruh anggota keluarga, sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW.
  3. Melakukan i'tikaf dengan upaya sekuat tenaga, sebagaimana dicontohkan Nabi SAW.
  4. Melakukan qiyamullail berjamaah sampai dengan raka'at terakhir yang dilakukan oleh imam, sebagaimana diriwayatkan Abu Dzar ra.
  5. Memperbanyak doa memohon ampunan dan keselamatan kepada Allah dengan doa,
    "Allahumma innaka 'afuwun tuhibbul 'afwa fa'fu 'anni... Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha pengampun dan suka memaafkan, maka ampunilah aku...". Hal ini yang diajarkan Rasulullah SAW kepada Aisyah ra ketika bertanya, "Wahai Rasulullah, bila kau ketahui kedatangan Lailatul Qadar, apa yang mesti saya ucapkan?" (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan Tirmidzi).
Muslimah dan Lailatul Qadar

Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa muslimah juga dapat berperan aktif dalam menggapai lailatul qadar.



dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

17 Desember 2008

Panduan Praktis I'tikaf Ramadhan

Allah Azza wa Jalla berfirman,

"Dan janganlah kalian mengumpuli mereka padahal kalian sedang menunaikan i'tikaf di dalam masjid...." (Al-Baqarah: 187).

Di antara rangkaian ibadah dalam bulan suci Ramadhan yang di- sunahkan dan diperintahkan oleh Rasulullah untuk menghidupkannya adalah i'tikaf. I'tikaf ini merupakan sarana muhasabah (me-ngoreksi) dan kontemplasi (perpaduan utuh antara ruhani, pikiran, perasaan dan fisik dengan sesuatu) seorang muslim yang sangat efektif, yakni dalam rangka memelihara dan meningkatkan keimanannya khususnya di era global, materialis (yang bertujuan selalu untuk materi dan materi) dan hedonis (sikap hidup mencari kesenangan belaka) seperti sekarang ini.

Pengertian I'tikaf

Para ulama mengartikan i'tikaf yaitu berdiam atau tinggal di masjid dengan adab-adab tertentu, pada masa tertentu dengan niat ibadah dan taqarrub kepada Allah Azza wa Jalla.

Hukum I'tikaf

Para ulama telah berijma' bahwa i'tikaf, khususnya 10 hari terakhir di bulan ramadhan merupakan ibadah yang disyari'atkan oleh Rasulullah SAW. Beliau senantiasa beri'tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Aisyah ra, Ibnu Umar ra, dan Anas ra meriwayatkan, "Adalah Rasulullah SAW beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan" (HR. Bukhari Muslim).

Hal ini Beliau lakukan hingga wafat, bahkan pada tahun wafatnya Beliau beri'tikaf selama 20 hari. Demikian juga para sahabat melakukan ibadah agung ini sebagai cara untuk meneladani Rasulullah secara sempurna dan membangun kepribadian yang utuh.

Imam Ahmad berkata, "Sepengetahuan saya tak seorangpun ulama mengatakan i'tikaf bukan sunah".

Dalil Disyari'atkannya I'tikaf
  1. Al-Qur'an: surat Al-Baqarah 187 dan 125.
  2. As-Sunah: HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar, Anas dan Aisyah ra. "Sesungguhnya Rasulullah SAW beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sejak hijrah hingga Beliau wafat".
  3. Ijma', ulama berijma' bahwa i'tikaf adalah ibadah sunah. Berdasarkan dalil-dalil Al-Qur'an dan Sunah.
    Fadhilah, keutamaan dan tujuan i'tikaf:
    • Merupakan ibadah yang selalu dihidupkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
    • Dilaksanakan dalam rangka menyucikan hati dan berkonsentrasi semaksimal mungkin di dalam beribadah dan bertaqarrub kepada Allah pada waktu yang terbatas tapi amat tinggi nilainya.
    • Sarana untuk lebih mengikatkan hati pada ma'rifat dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah.
    • Sebagai bekal ruhani dalam menghadapi beratnya beban kehidupan dan dakwah yang selalu menuntut totalitas peran para juru dakwah kaum muslimin.
    • Sarana untuk berdoa dan bermunajat kepada Allah yang utama dan tepat.
    • Menurut Ibnu Qayyim, i'tikaf disyari'atkan dengan tujuan agar hati beri'tikaf dan bersimpuh di hadapan Allah, berkhalwat (menyendiri) dengan-Nya serta memutuskan hubungan sementara dengan sesama makhluk dan semua aktivitas duniawi.

Macam-macam I'tikaf

I'tikaf yang disyari'atkan ada dua macam: sunah dan wajib.

I'tikaf sunah yaitu dilaksanakan secara sukarela semata-mata untuk bertaqarrub kepada Allah Azza wa Jalla, seperti i'tikaf 10 hari terakhir bulan Ramadhan.

I'tikaf yang wajib yaitu yang didahului dengan janji (nadzar), seperti, "Kalau Allah menyembuh- kan sakitku ini, maka aku akan beri'tikaf".

Waktu I'tikaf

Untuk i'tikaf wajib tergantung pada berapa lama waktu yang dinadzarkan, sedangkan i'tikaf sunah tidak ada batas waktu tertentu. Bisa dilakukan baik siang hari atau malam hari, bisa lama bisa singkat, minimalnya dalam mazhab Hanafi: sekejab tanpa batas waktu tertentu, sekedar berdiam diri dengan niat i'tikaf. Dalam mazhab Syafi'i, sesaat atau sejenak (yang dapat dikatakan berdiam diri), dalam mazhab Maliki sehari semalam, dan dalam mazhab Hambali satu jam saja.

Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama tadi, waktu i'tikaf yang paling afdhal pada bulan Ramadhan, ialah sebagaimana dipraktekkan langsung dan disunahkan oleh Rasulullah SAW, 10 hari terakhir bulan Ramadhan.

Syarat-syarat I'tikaf

Orang yang beri'tikaf harus memenuhi kriteria sebagai berikut ini:

1. Mulim
2. Berakal
3. Suci dari janabah (haidh) dan nifas

Oleh karena itu i'tikaf tidak sah dilakukan orang kafir, anak yang belum mumayyiz (mampu membedakan), orang junub dan wanita haidh serta nifas.

Rukun-rukun I'tikaf

1. Niat (Al-Bayyinah: 5) (HR Bukhari dan Muslim tentang Niat).
2. Berdiam di Masjid (Al-Baqarah: 187).

Disini ada perbedaan pendapat tentang masjid sebagai tempat i'tikaf. Imam Malik membolehkan i'tikaf di setiap masjid.

Ulama Hanabilah mensyaratkan agar i'tikaf dilaksanakan di masjid yang dipakai untuk shalat jamaah dan atau shalat Jum'at, sehingga orang i'tikaf tidak perlu pindah-pindah masjid. Pendapat ini dikuatkan oleh ulama Syafi'iayah bahwa paling afdhal i'tikaf di masjid jami' karena Rasulullah i'tikaf di masjid jami'. Lebih afdhal dilaksanakan di salah satu dari ketiga masjid, Masjidil Haram, Masjidil Aqsa, Masjid Nabawi di Madinah.

Hal-hal yang Disunahkan dalam I'tikaf

Disunahkan bagi orang yang i'tikaf untuk memperbanyak ibadah dan taqarrub kepada Allah, seperti shalat sunah, membaca Al-Qur'an, tasbih, tahmid, takbir, istighfar, shalawat kepada Nabi SAW, doa dzikir dan sebagainya. Prioritas utama adalah ibadah mahdhah. Bahkan sebagian ulama seperti Imam Malik, meninggalkan segala aktivitas ilmiah lainnya dan berkonsentrasi pada ibadah mahdhah. Meski demikian untuk mendukung pelaksanaan i'tikaf dapat juga dibuka forum kajian lmiah dan tarbiyah ruhiyah.

Hal-hal yang Diperbolehkan
  1. Keluar dari tempat i'tikaf untuk mengantar istri, seperti Rasul pernah mengantar Syafiyah ra. (HR Bukhari dan Muslim).
  2. Menyisir atau mencukur rambut, memotong kuku, membersihkan tubuh dari kotoran dan bau badan.
  3. Keluar ke tempat keperluan yang harus dipenuhi, seperti buang air besar, buang air kecil, makan, minum, dsb. Tapi harus segera kembali ke masjid.
  4. Makan, minum, dan tidur di masjid dengan senantiasa menjaga adab, etika dan kesucian masjid.
Hal-hal yang Membatalkan I'tikaf
  1. Meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan, meski sebentar, karena meninggalkan rukun i'tikaf yaitu berdiam di masjid.
  2. Murtad, keluar dari agama Islam (Az-Zumar: 65).
  3. Hilangnya akal karena gila atau mabuk.
  4. Haid
  5. Nifas
  6. Jima' atau bersetubuh dengan istri (Al-Baqarah: 187). Akan tetapi memegang tanpa syahwat, tidak apa-apa sebagaimana dilakukan Nabi dan istri-istrinya.
  7. Pergi shalat Jum'at, bagi mereka yang membolehkan i'tikaf di musholah yang tidak dipakai shalat Jum'at.
I'tikaf bagi Muslimah

Sebagaimana halnya kaum pria, i'tikaf juga disunahkan bagi kaum wanita, seperti yang dilakukan oleh sebagian istri-istri Rasul. Namun ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi:
  1. Mendapat persetujuan dan ridha dari suami atau orang-tua. Apabila suami telah mengizinkan istrinya untuk i'tikaf, maka si suami tidak boleh menarik kembali izinnya tersebut.
  2. Tempat pelaksanaan memenuhi persyaratan syari'at, seperti hijab, tidak terjadi ikhtilat (percampur-adukkan), terjaga adab, etika dan akhlaq seperti masalah syahwat, pandangan dan sebagainya.
Untuk itu paling afdhal apabila rumah muslimah yang i'tikaf berdekatan dengan masjid.



dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

16 Desember 2008

Kiat Sehat Ala Rasul

Rasulullah SAW bersabda, "Mukmin yang kuat adalah lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada Mukmin yang lemah..." (HR. Muslim).

Di bulan Ramadhan sangat penting untuk memperhatikan aspek kesehatan, yakni agar dapat menunaikan ibadah ramadhan dengan sempurna selain juga untuk berta'aasi (mencontoh) kepada Rasulullah SAW, salah satunya adalah dengan menjadi mukmin yang sehat dan kuat. Hal itu sangat penting meski berat untuk menunaikannya.

Rasulullah SAW sebagai uswah hasanah telah memberikan contoh yang konkrit dalam berbagai keadaan yang muslim, menunjukkan keperkasaan seorang (pemimpin) umat yang patut diteladani dalam segala seginya. Salah satunya adalah bidang kesehatan dan kekuatan fisik Beliau, sebagai cerminan pribadi nan utama, qawiyyul jism.

Kekuatan Rasulullah SAW dibuktikan saat-saat berjihad di jalan Allah, dimana Beliau senantiasa di garis depan sehingga membangkitkan semangat jihad para sahabatnya.

Pernah suatu ketika seorang pegulat di masa Quraisy, Rukanah, bergulat dengan Rasulullah SAW tetapi Rukanah tak mampu untuk merobohkannya. Bagaimana agar senantiasa sehat seperti Rasululah SAW? Ikuti resep berikut ini:

1. Selalu Bangun Sebelum Subuh

Rasulullah SAW selalu mengajak umatnya untuk bangun sebelum subuh, melaksanakan shalat sunah dan shalat fardhu, shalat subuh berjama'ah, terlebih di bulan Ramadhan. Ini memberikan hikmah yang sangat dalam. Pertama, berlimpahnya pahala dari Allah. Kedua, kesegaran udara subuh memberikan terapi penyakit TBC, karena udara subuh banyak mengandung zat asam. Ketiga, udara subuh dapat memperkuat pikiran dan menyehatkan perasaan. Bahkan para salafus salih menyarankan untuk 'menyehatkan hafalan di waktu menjelang subuh (waktu sahur). Nabi SAW bersabda:

"Dua raka'at sebelum subuh adalah lebih baik daripada dunia seisinya" (HR. Muslim dari 'Aisyah ra).

2. Aktif Menjaga Kebersihan

Beliau senantiasa nampak rapi dan bersih, meski pakaian yang Beliau miliki tak lebih dari dua salinan. Tak pernah ada bintik-bintik hitam atau kuning pada sorbannya. Sedang gamisnya selalu bersih. Tiap hari Kamis atau Jum'at Beliau mencukur rambut-rambut halus yang tumbuh di pipi. Beliau selalu memotong kuku, menyisir rambut dan berminyak wangi. Beliau bergigi putih karena selalu bersiwak, Sabdanya, "Andaikata tidak khawatir memberatkan umatku niscaya aku wajibkan siwak (menggoso gigi) pada tiap-tiap shalat" (Muttafaq 'alaih).

Rasulullah SAW menggosok gigi setiap bangun tidur, ketika memasuki rumah (HR. Muslim dan Muttafaq 'alaih). Pada hari jum'at disunahkan mandi sebelum pergi ke masjid. "Mandi pada hari Jum'at adalah wajib bagi setiap orang-orang dewasa. Demikian pula menggosok gigi dan memakai harum-haruman" (HR. Muslim).

Bukan saja di dalam shalat, di luar shalat pun kebersihan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan mukmin. "Ath-thahuuru syathrul iimaani... atau an-nazahaafatu minal iimaani... Kebersihan adalah sebagian dari iman "adalah sunah Islam yang sangat populer dan perlu diamalkan lebih lanjut.

3. Tidak Pernah Banyak Makan

Sabda Rasul SAW, "Kami adalah sebuah kaum yang tidak makan sebelum merasa lapar dan bila kami makan tidak terlalu banyak (tidak pernah sampai kekenyangan)" (muttafaq 'alaih).

Dalam tubuh manusia ada tiga ruang untuk tiga benda. Sepertiga untuk udara, sepertiga untuk air dan sepertiga untuk makanan. Bahkan ada satu tarbiyah khusus bagi umat Islam dengan adanya shaum Ramadhan guna menyeimbangkan kesehatan.

4. Gemar Berjalan Kaki

Rasul SAW selalu berjalan kaki dari rumah ke masjid, dari masjid ke pasar, di medan jihad, mengunjungi rumah sahabat.

Dengan berjalan kaki keringat akan mengalir. Pori-pori terbuka dan peredaran darah akan berjalan dengan lancar. Ini penting untuk mencegah penyakit jantung.

5. Tidak Pemarah

Nasihat Rasulullah SAW, "Jangan marah!" di ulangi sampai 3 kali. Ini menunjukkan bahwa hakikat kesehatan dan kekuatan muslim bukanlah pada jasadnya belaka, tetapi lebih jauh yaitu dilandasi oleh kebersihan dan kesehatan jiwa. Sehingga tercermin dalam perbuatannya, amal shalih. Saat marah adalah kondisi emosi memuncak, serta merupakan peluang jin dan syetan untuk menggoda dan masuk mempengaruhi manusia.

Untuk itu perlu sebuah terapi yang tepat guna menahan marah, di antaranya: mengubah posisi ketika marah. Bila berdiri maka duduk dan bila duduk maka berbaringlah. Membaca ta'awudz, karena amarah dari syetan. Segeralah berwudhu, karena akan membersihkan badan serta mensucikan. Sehingga akan lebih dekat kepada pertolongan Allah. Dan shalatlah dua rakaat, untuk meraih ketenangan dan ketentraman serta menghilangkan kegundahan.

6. Optimis dan Tidak Putus Asa

Umat Islam merupakan sebuah umat yang senantiasa berorientasi ke depan serta menggapai keridhaan Allah. Sehingga apabila nikmat dan anugerah mereka terima senantiasa disyukuri, dan apabila musibah datang menimpa maka ia bertaqarrub kepada Allah, menginstropeksi diri serta mohon ampunan atas kesalahannya. Karena sesungguhnya semua yang ada di alam semesta ini adalah milik Allah, manusia hanya pemegang amanah. Ini yang membedakan kehidupan mukmin dengan mahkluk lainnya, dan merupakan bekal hidup sehat. Rasul SAW meski dalam dakwahnya selalu mendapat perlawanan yang sangat kejam namun Beliau tetap optimis atas keberimanan umatnya, bahkan sangat mengharapkan agar umatnya beriman kepada Allah (At-Taubah: 128-129). Sikap optmis ini akan memberikan dampak psikologis yang sangat mendalam bagi kelapangan jiwa sehingga tetap sabar, istiqomah dan bekerja keras serta tawakal kepada Allah SWT.

7. Tak Pernah Iri Hati

Untuk menjaga stabilitas hati, dan kesehatan jiwa, mentalitas maka menjauhi iri-hati merupakan tindakan preventif yang sangat tepat. Karena sikap iri akan menumbuhkan kecemasan, kegelisahan dan sikap-sikap negatif lainnya. Bila diikuti, iri-hati yang bersumber pada buruk sangka akan mengarah pada kedengkian yang berakibat rusaknya hubungan ukhuwah. Hanya saja boleh iri-hati dalam hal-hal positif seperti terhadap orang yang banyak berilmu kemudian banyak beramal shalih dengan ilmunya, serta iri kepada orang kaya yang banyak shadaqah (dalam Hadits Riwayat Bukhari).



dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

15 Desember 2008

Cara Menanamkan Hifdzul Qur'an


    Cara menanamkan Hifdzul Qur'an:



    1. Tanamkan rasa cinta tilawah, untuk membaca Qur'an tiap hari, dan mengkhatamkan 30 juz.
    2. Menggalakkan lembaga pengajaran Al-Qur'an, tahfidz Qur'an dll.
    3. Menggalakkan musabaqah, qiyamullail, tasmi' dan lain-lain.
    4. Memotivasi generasi Islam untuk hafidz Qur'an

    Keuntungan Hifdzul Qur'an
    1. Aktivitas dakwah Islam akan lebih cepat memasyarakat di tengah umat. Karena Al-Qur'an adalah media dakwah yang paling mudah diterima.
    2. Meningkatkan kualitas ulama dan umat dimasa yang akan datang.
    3. Terkabulnya janji-janji Allah ketika umat telah akrab dan menyatu dengan Al-Qur'an.
    4. Makin makmurnya masjid-masjid Allah dengan bacaan Qur'an sehingga rahmat Islam makin tersebar luas.
    5. Terbentuknya kesadaran Qur'ani yang luas dari segala lapisan masyarakat sehingga sadar bahwa Al-Qur'an adalah sistem kehidupan yang selalu memandu seluruh aktivitas kehidupan.

    Fadhilah Hifdzul Qur'an

    Fadhilah dunia:
    1. Nikmat Rabbani dari Allah karena Ia senantiasa mengkaji, mendakwahkan, mengamalkan Qur'an. Sehingga secara terus-menerus terkondisi dengan naungan Qur'an (Ali Imran: 79).
    2. Berkah, kebaikan dan kenikmatan bagi para hufadz.
      "Sebaik-baik kamu adalah yang mempelajari Al-Qur'an dan mengajarkannya" (HR. Muslim).
    3. Tasyrif nabawi (penghargaan khusus dari Nabi SAW).
      "Yang menjadi Imam suatu kaum adalah yang paling banyak hafalannya" (HR. Muslim).
    4. Hifdzul Qur'an adalah ciri orang yang diberi ilmu.
      "Sebenarnya Al-Qur'an adalah ayat-ayat yang nyata bagi orang-orang yang diberi ilmu. Dan tiada mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim" (Al-Ankabut: 49).
    5. Hufazh Al-Qur'an adalah keluarga Allah.
      Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah memiliki dua keluarga diantara manusia. 'Para sahabat bertanya, "Siapakah mereka, ya Rasulullah?" Rasulullah SAW menjawab, "Para ahli (hufazh) Qur'an, mereka adalah keluarga Allah dan pilihan-pilihan-Nya" (HR. Ahmad Majah).
    6. Menghormati hufazh berarti mengagungkan Allah.
      "Sesungguhnya termasuk mengagungkan Allah, menghormati muslim, penghafal Qur'an yang tidak melampaui batas (dalam memahami dan mengamalkannya) dan tidak menjauhinya (enggan membaca dan mengamalkannya) dan penguasa yang adil" (HR. Abu Dawud).

    Fadhilah akhirat:
    1. Syafa'at di hari kiamat
      Rasulullah SAW bersabda, "Bacalah Al-Qur'an, sesungguhnya ia akan menjadi syafaat bagi para pembacanya (penghafalnya)" (HR. Muslim).
      "Al-Qur'an ini sebagai hujjah (pembela) bagimu atau sebagai penuntut atasmu" (HR. Muslim).
    2. Meninggikan derajat manusia di jannah
      Rasulullah SAW bersabda, "Baca dan tartilkanlah sebagaimana engkau dulu mentartilkan Al-Qur'an di dunia, sesungguhnya kedudukanmu di akhir ayat yang kamu baca" (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
    3. Bersama para malaikat yang mulia dan taat.
      Rasulullah SAW bersabda, "Dan perumpamaan orang-orang yang membaca Al-Qur'an sedangkan ia hafal ayat-ayatnya, bersama para malaikat yang mulia dan taat" (Muttafaqqun 'alaih).
    4. Tajul karomah (mahkota kemuliaan).
    5. Perdagangan yang tidak pernah rugi (Al-Fathir: 29-30).
    6. Pahala yang paling banyak.
      "Barangsiapa membaca satu huruf dari Al-Qur'an, maka baginya satu hasanah (kebaikan), dan tiap hasanah itu dilipat-gandakan sepuluh kali Aku tidak mengatakan Alif Lam Mim itu satu huruf, namun Alif satu huruf, Lam satu huruf, dan Mim satu huruf".


    dikutip dari:
    Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
    Abu Izzuddin

    14 Desember 2008

    Mengapa Al-Qur'an Perlu Dihafal?

    Para penghafal Al-Qur'an adalah mereka yang dipilih Allah untuk menjaga kemurnian Al-Qur'an.

    Allah Azza wa Jalla berfirman,

    "Sesungguhnya kami telah menurunkan Al-Qur'an dan Kami-lah yang menjaganya" (Al-Hijr: 9).

    "Kemudian Kitab ini Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami" (Fathir: 32).

    Untuk makin memantapkan diri, berikut ini beberapa ciri atau karakteristik Al-Qur'an:

    1. Al-Qur'an adalah minhajul hayyah

    Al-Qur'an adalah pedoman konkrit bagi seluruh kehidupan manusia, manakala mendambakan kehidupan yang hakiki, kebahagiaan dunia akhirat. Karena hidup tanpa pedoman Al-Qur'an bagaikan hidup di hutan belantara tanpa aturan.

    Karena Al-Qur'an telah memaparkan bahwa Allah telah menggariskan syari'at sekaligus memberikan manhaj sebagai juklak (petunjuk pelaksanaan).

    Firman Allah, "Likullin ja'alnaa minkum syir'aatan wa miinhajan... Untuk tiap-tiap kalian telah Kami jadikan syari'at dan manhaj (juklak)nya" (Al-Maidah: 48).

    Tanpa petunjuk Al-Qur'an hidup manusia bisa berakibat fatal, zhalim, fasik, kafir (Al-Maidah: 44,45,47). Atau bahkan dengan memisahkan Al-Qur'an dari kehidupan akan berakibat tamazzuq (terpecahnya kepribadian, atau dikenal dengan istilah schizhophrenia).

    Al-Qur'an datang untuk dibaca, dihafal, diamalkan dan dida'wahkan agar manusia hidup dalam petunjuk yang lurus. "Sesungguhnya Al-Qur'an ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus" (Al-Isra': 9)

    2. Al-Qur'an adalah Ruh Orang Mukmin

    Ruhani mukmin akan menjadi hidup dan kokoh manakala Al-Qur'an telah tertanam dalam jiwa dan kepribadian, menjadi pribadi berakhlak mulia, serta menjadi panduan seluruh geraknya.

    Al-Qur'an merupakan sarana pendekatan (taqarub) hamba agar ruhiyahnya bergetar dan siap melaksanakan perintah-Nya (Al-Anfal: 2). Dia tiada akan menolak segala keputusan Allah dan Rasul-Nya, karena Al-Qur'an telah menyatu dan tidak bisa dipisahkan sama sekali. Bahkan maut baginya adalah sebuah kenikmatan dalam naungan Al-Qur'an.

    3. Al-Qur'an adalah Adalah Adz-Dzhikirkan

    Al-Qur'an Al-Qur'an diturunkan bukan hanya digunakan saat-saat tertentu, setelah itu dicampakkan begitu saja. Sama sekali bukan! Tapi Al-Qur'an senantiasa aktual dan perlu untuk diamalkan untuk memberi peringatan kepada manusia.

    "Dan Al-Qur'an ini adalah suatu kitab (Adz-Zhikir, peringatan) yang mempunyai berkah yang Kami turunkan. Maka mengapa kamu mengingkarinya?" (Al-Anbiya': 50).

    "Al-Qur'an itu tidak lain hanyalah peringatan dan kitab yang memberi penjelasan" (Yasin: 69).

    Al-Qur'an penting untuk dihafal agar memberikan atsar (pengaruh) bagi kemuliaan umat ini. Agar tidak hanya menghiasi mulut dan tenggorokkannya saja. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Mereka membaca Al-Qur'an namun tidak mampu melampaui tenggorokkannya" (HR. Muslim).

    4. Al-Qur'an Sumber Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

    Al-Qur'an memberikan informasi aktual (terbaru) secara terperinci dalam seluruh rangkaian ayat-ayatnya. Al-Qur'an memberikan standar agar manusia:

    • Menuntut dan memperdalam ilmu pengetahuan (Al-Isra': 36; Muhammad: 19).
    • Al-Qur'an memiliki metodologi ilmiah meski hanya garis besarnya saja. Misal tentang proses kejadian manusia (Al-Mukminun: 12-16).
    • Kalangan ulama memiliki tanggung-jawab untuk menggali kandungan Al-Qur'an secara kauniyah dan qauliyah.
    • Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah mengangkat derajat dengan Al-Qur'an ini beberapa kaum dan merendahkan dengannnya kaum yang lain.


    dikutip dari:
    Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
    Abu Izzuddin