02 Desember 2008

Ramadhan Bulan Ukhuwah

Allah Azza wa Jalla berfirman,

“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Rabb-mu maka sembahlah aku!” (Al-Anbiya’: 92)

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara, maka damaikanlah di antara saudara kalian” (Al-Hujurat: 10)

Ketika Ramadhan tiba salah satu yang terbayang dan sering terjadi adalah munculnya friksi-friksi (perbedaan pendapat) yang bisa-bisa mengarah pada perpecahan dan kehancuran. Dimulai dari perbedaan awal dimulainya puasa, jumlah hitungan rekaat sholat tarawih, antara shalat tarawih sendiri di rumah atau shalat tarawih berjamaah, dan berbagai do’a ataupun amalan lainnya.

Haruskah kita berpecah hanya karena masalah furu’ atau masalah cabang tersebut, yang lebih merupakan perkara sunah atau fadhilah amal? Sedangkan kita sangat paham persatuan atau ukhuwah Islamiyah adalah Wajib? (Ali Imran: 103)

Kaum Muslimin rahimakumullah…

Marilah kita sebagai kaum muslimin menyadari bahwa kita adalah bersaudara dan kita adalah umat yang satu. Sesungguhnya perpecahan merupakan peluang bagi kaum kafir untuk memperporak-porandakan bangunan dan kesatuan umat ini. Untuk itu berikut ini kami sampaikan catatan dan renungan guna mencapai sukses dan berkah Ramadhan. Yakni terwujudnya ukhuwah Islamiyah yang makin kokoh.

1. Kita adalah umat yang satu

Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla di muka, sesungguhnya kita adalah umat yang satu, yaitu disatukan dalam ikatan iman dan aqidah, kalimah Laa ilaaha illallahu Muhammadan Rasulullah. Inilah nilai keyakinan dan dan “nasionalisme” atau bahkan “internasionalisme” tertinggi setiap muslim dan mukmin bahwa setiap darah dan nyawa yang mengucapkan syahadat adalah bersaudara, apapun warna kulit, bahasa, kebangsaannya. Di belahan bumi manapun kita senantiasa bersaudara dan tidak layak berpecah, untuk selamanya. Selain itu undang-undang kehidupan umat Islam seluruh dunia adalah satu yaitu Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunah Al Muthahharah, teladan kita satu yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sangat banyak nilai-nilai luhur yang mempersatukan kita. Dan gambaran persatuan dan kesatuan kita sesama muslim seperti tubuh yang satu. Bila kita menyakiti satu bagian tubuh berarti kita menyakiti seluruh tubuh kita… Relakah?

2. Kekufuran adalah milah yang satu

Disamping itu kita mesti juga menyadari bahwa musuh-musuh Islam takut bahkan tidak ingin bila umat Islam bersatu. Meski mereka saling berbeda, tetapi saat memusuhi Islam mereka bersatu padu dan saling membantu. Tepatlah bila dikatakan oleh Allah bahwa “ba’dhuhum mim ba’dh, sebagian mereka adalah sebagian yang lain. “Demikian juga yang diperingatkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa al-kufru millatun waahidatun kekufuran adalah milah (ideologi) yang satu”. Tak peduli apakah mereka Yahudi, Nasrani, Majusi, Atheis, Komunis, Animisme-Dinamisme mereka berbeda, tetapi mereka semua “kompak” dan satu pemikiran, tidak rela bila Islam, bila al-haq, tegak dimuka bumi. Tidak heran jika Samuel Hutington memberikan analisa bahwa setelah ambruknya komunis soviet, maka musuh barat (Amerika) satu-satunya adalah Islam. Maka mereka senantiasa berupaya dengan berbagai cara untuk memecah belah, merontokkan sendi-sendi persatuan yaitu menumbuhkan fanatisme golongan, kebanggaan terhadap kelompok. Berdebat dalam masalah khilafiyah (furu atau cabang-cabang fiqh), dengan mengesampingkan hal-hal yang pokok dan prinsip.

Contoh yang kongkrit adalah masalah sedekap, ushali posisi tangan setelah i’tidal antara yang sedekap dan lurus, menggerak-gerakkan telunjuk saat tasyahud, jumlah rekaat dalam tarawih dan witir. Itu semua dapat memicu perpecahan dan meretakkan persaudaraan, hilang rasa saling menghormati, dan merenggangnya hubungan silaturahim, tidak mau berjamaah di masjid, bahkan saling membid’ahkan dan mengkafirkan sesamanya na’uzhu billahi min dzalik.

Padahal bila direnungkan lebih jauh, shalat tarawih, witir itu hukumnya sunah, sedangkan ukhuwah Islamiyah itu hukumnya wajib. Wahai kaum muslimin… relakah kita, hanya karena perkara sunah menghancurkan kewajiban?

Dan bukankah bila kita bersatu justru akan semakin menambah kekuatan dan dapat menghalau kekafiran? Akan tetapi sayang ketika orang kafir bersatu padu memerangi kita, sementara kita justru berpecah belah? Maka bila kita tidak bersatu padu dalam memerangi orang kafir dan segala bentuk kekufuran pasti terjadi fitnah di muka bumi dan terjadi pula kerusakan yang besar…!

3. Memahami Keberagaman dan sebab Perbedaan

Satu hal yang mesti diperhatikan dalam masalah keberagaman manusia sesungguhnya bukanlah alasan untuk berpecah belah dan bercerai berai. Justru untuk saling mengenal, memahami, melengkapi bahkan saling tolong, saling bantu dengan sesamanya (Al-Maidah: 2; Al-Hujurat: 13). Bahkan perbedaan dalam hal-hal yang bukan prinsip seperti warna kulit, bahasa, suku, geografis adalah sarana untuk memperkaya khazanah Islam. Dan inilah yang dipraktekkan Nabi beserta para sahabat yaitu mengumpulkan kekuatan dalam keberagaman perbedaan. Ada Abu Bakar dan Umar dari Quraisy, Salman dari Persia, Suhaib dari Romawi, Bilal bin Rabah dari Habasyah atau Ethiopia. Semuanya justru semakin memperkuat barisan Islam dan saling berlomba menampilkan prestasi terbaik. Dan yang terbaik di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa di antara mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman,

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan (kami jadikan kalian) berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling taqwa di antara kamu” (Al-Hujurat: 13).

4. Mengapa Muncul Perbedaan?

Lalu mengapa dalam tubuh umat Islam timbul adanya perbedaan sehingga muncul khilafiyah dalam masalah fiqh? Ini tampaknya juga penting untuk diangkat.

Di dalam Islam kita mengenal adanya mazhab, seperti Mazhab Maliki, Hanafi, dan Syafi’i. Sebenarnya timbulnya mazhab di tengah umat ini karena terjadinya perbedaan pendapat atau ijtihad di kalangan para ulama. Perbedaan pendapat ini hanya seputar masalah furu’ (cabang) dalam fiqh, bukan dalam masalah ushul (pokok atau prinsip). Mereka sepakat dan sependapat dalam masalah prinsip seperti aqidah, ibadah mahdhah (khusus) yang hanya ditujukan pada Alla Azza wa Jalla.

Adapun sebab-sebab perbedaan itu sendiri muncul karena:

  1. Keadaan bahasa Arab yang memungkinkan adanya kalimat musytarak, yaitu satu kalimat tetapi mempunyai arti lebih dari satu. Adanya kalimat majaz atau bukan arti sebenarnya. Dan inilah yang menyebabkan beda penafsiran dalam masalah fiqh. Kata guru misalnya dalam Al-Baqarah: 282, dapat diartikan suci –menurut Imam Syafi’i–, dan haid, menurut Imam Ahmad bin Hambal. Atau kata “nikah” dalam An-Nisa’: 22, dalam bahasa Arab bisa diartikan “dham” atau menghimpit dan arti kiasan tersebut ada dua: aqad nikah (Imam Syafi’i) dan setubuh (Imam Abu Hanifah).
  2. Keadaan periwayatan hadits, yaitu tingkat keshahihan hadits yang dijadikan rujukan. Para Imam Mujtahid sepakat untuk mengikuti hadits yang telah diakui keshahihannya dan segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah. Nah, adanya hadits dhaif (lemah), hadits maudhu (palsu) atau berbagai tingkat klasifikasi hadits itulah yang memicu perbedaan pengambilan dasar hukum. Namun secara sadar dan perwira para ulama sepakat menjadikan yang paling shahih sebagai argumennya seperti dikatakan Imam Syafi’i, “bila kamu menjumpai hadits shahih, maka itulah mazhabku…”


Dan ucapan ini dibuktikan dengan munculnya qaul qadim (ijtihad terdahulu) dan qaul jadid (ijtihad yang baru) berdasarkan pertimbangan yang lebih shahih.

Di samping itu perbedaan juga dapat timbul karena perbedaan geografis para imam Mujtahid saat menentukan ketentuan fiqh terhadap satu masalah. Nah untuk itu sebenarnya upaya kita bukanlah memperuncing perbedaan dan perpecahan, tetapi mestinya lebih baik mencari garis persamaan. Dan itulah yang akan menguatkan bangunan umat. Tidaklah kita tahu bahwa para Imam tersebut meski berbeda satu sama lain toh mereka saling menghargai dan menghormati? Bahkan mereka saling tukar ilmu menjadi guru dan murid bagi sesama Imam besar, seperti Imam Syafi’i menjadi murid Imam Malik, atau Imam Syafi’i pernah mengimami Imam lainnya tanpa qunut meski Imam Syafi’i biasa mengamalkan qunut. Imam Abu Hanifah juga pernah melepas kepergian Imam Syafi’i ke Mesir dengan linangan air mata. Bukankah mereka bersaudara…? Tapi mengapa justru kita berpecah…?

5. Bagaimana menyikapi Perbedaan

Setelah memahami jauh tentang perbedaan tersebut, sebagai umat Islam yang satu, saudara seiman dan seaqidah, seperjuangan, maka kita mestinya memiliki sikap dewasa agar perbedaan furu’iyah tersebut tidak memicu perpecahan, yaitu dengan:

  1. Kita wajib memandang perbedaan dalam masalah fiqh dengan cara pandang Ilmu salaf (terdahulu) yang shahih, dan memperlakukannya sebagai hal yang wajar terjadi.
  2. Tidak boleh menyalahkan dan mengingkari orang lain yang berbeda pendapat (mazhab), sebab tidak ada kemungkaran dalam masalah ijtihadiyah.
  3. Perbedaan dalam fiqhiyah atau ijtihadiyah tidak boleh mengeruhkan sendi-sendi ukhuwah Islamiyah.
  4. Kita bekerja sama dan tolong menolong dalam hal-hal yang kita sepakati, dan kita saling toleran dalam masalah khilafiyah, yang ada perbedaan pendapat di dalamnya.


Nah, di bulan Rasulullah ini merupakan bulan yang sangat tepat untuk meretas nilai-nilai ukhuwah. Pada bulan mulia inilah semua umat Islam di seluruh dunia serentak melaksanakan ibadah puasa. Mereka memperoleh kebaikan pada bulan itu, sebagaimana saudara-saudara mereka di seluruh dunia, dalam belahan bumi manapun tanpa mengenal bangsa dan warna kulit , semua serentak puasa bersama tunduk patuh dalam perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.




dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

Tidak ada komentar: