31 Desember 2008

Nilai Shaum Kita

Rasulullah SAW bersabda dalam hadits Qudsi, menyatakan bahwa Allah SWT berfirman,
"Semua amal perbuatan Bani Adam menyangkut dirinya pribadi, kecuali shaum. Sesungguhnya shaum (puasa) itu untuk-Ku, dan karena itu Akulah yang langsung membalasnya. Shaum itu ibarat perisai. Pada hari melaksanakan shaum, janganlah yang shaum mengucapkan kata-kata yang kotor, tidak sopan dan tidak enak didengar, dan janganlah ribut hingar-bingar bertengkar. Jika ada di antara kalian memakinya untuk mengajak berkelahi, hendaklah katakan padanya, "Inni shaa'imuun... Saya sedang berpuasa." Selanjutnya Nabi SAW bersabda, "Demi Allah yang jiwa Muhammad di dalam kekuasaan-Nya, sesungguhnya bau busuk mulut orang yang sedang berpuasa lebih wangi di sisi Allah dari bau kasturi. Dan bagi orang yang puasa tersedia dua kegembiraan, yakni gembira ketika berbuka puasa karena bukanya dan gembira kelak menemui Rabb-nya (Tuhannya) karena menerima pahala puasa" (HQR Syaikhani, Nasa'i, Ibnu Hibban, dari Abu Hurairah ra).

Ada beberapa pelajaran agung dan pendidikan tingkat tinggi yang dapat diambil dari hadits qudsi di atas, diantaranya:

1. Pahala Khusus dari Allah
Semua bentuk ibadah dan ketaatan mempunyai pahala dan ganjaran tertentu dan terbatas, yang kesemuanya akan diterima oleh seseorang sesuai dengan kualitas amalnya. Lain halnya dengan puasa. Apabila tuntunan dan tuntutan puasa ditunaikan dengan baik, dilakukan dengan ikhlas, dilandasi kesadaran dan cinta, maka pahalanya langsung dianugerahkan oleh Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang. "Ash-shaumu lii wa ana ajzii bihi". "Man shaama Ramadhaanan iimaanan wahtisaaban ghufira lahu maa taqaddama min dzanbihi".

2. Puasa Ibarat Perisai

Bagi orang-orang mukmin, puasa adalah perisai, benteng, dinding yang dapat melindungi dari berbagai penyakit, baik itu penyakit jasmani maupun penyakit ruhani. Puasa dapat menjadi kekuatan yang mendorong seseorang untuk memperbanyak amal shalih. Puasa juga kekuatan untuk memancarkan Islam dan menambah cahaya iman dalam hati. Puasa menghaluskan budi pekerti, tutur kata, sopan-santun, lemah-lembut, sabar, pemaaf, dan sebagainya.

3. Puasa Melatih Keikhlasan

Salah satu kebahagiaan mukmin yang tiada tara adalah manakala setiap amalnya dilandasi keikhlasan. Mengapa? Karena hatinya tenang, tentram dan pasrah serta hanya mengharap keridhaan Allah. Sehingga ketaatan yang dilakukan stabil bahkan terus meningkat, karena tidak terpengaruh oleh pujian dan celaan. Dan puasa adalah pendidikan "kelas atas" untuk membina keikhlasan mukmin, yakni kesadaran bahwa setiap gerak-gerik dirinya selalu dalam pantauan Allah. Maka dirinya hanya pantas mengharap balasan dari Allah saja, bukan dari yang lain.

4. Puasa dan Akhlaq Mulia

Puasa menjaga diri agar jangan sampai terlibat pertempuran dan pertengkaran. Apabila tanpa sengaja hampir terlibat dalam perkelahian , bersegeralah untuk ingat dan sadar, mengingatkan diri dan orang lain, bahwa dirinya sedang berpuasa. Puasa juga akan mengajari cara menolak suatu kemungkaran dengan cara yang baik. Ini akan mendidik pelaku puasa agar komitmen dalam kebaikan dalam setiap permasalahan. Selain itu dilaksanakannya puasa dengan khusyu', tawadhu', dan tawakal akan menentramkan diri pada ketentuan Allah bahwa apa yang disisi Allah adalah kekal, sedangkan yang ada di tangan manusia fana sifatnya, tidak kekal.

5. Kedudukan Orang yang Berpuasa

Rasulullah SAW mendudukan posisi orang yang berpuasa pada tingkatan yang tinggi dan mulia, karena "bau busuk mulut orang yang berpuasa lebih berharga dari harumnya aroma kasturi". Maka cobalah anda renungkan, adakah ibadah semulia ibadah puasa? Lalu mengapa kedudukan itu begitu mulia? Karena mulut orang yang berpuasa, yang mengosongkan perutnya dari makan, minum dan syahwat; yang menjaga lisannya dari pembicaraan sia-sia, mempunyai kedudukan agung di sisi Allah. Inilah wujud syukur dan ketaatan orang mukmin.

6. Dua Kegembiraan

Kegembiraan orang berpuasa sungguh tiada terkira, dan ini hanya dapat dirasakan oleh mereka yang berpuasa dengan baik dan benar tentunya. Kegembiraan pertama adalah tatkala berbuka dan anugerah 'iedul fitri berupa kembali dalam kesucian (fitrah). Pada saat itulah ia merasakan nikmatnya ibadah dan ketaatan,terbebas dari hawa nafsu, lulus dari berbagai ujian dan cobaan. Dan hanya taufiq dan hidayah Allah saja kita bisa merasakan kenikmatan tersebut. Adapun kegembiraan di akhirat adalah saat bertemu Allah, saat mengetahui bahwa ibadah dan ketaatannya diterima di sisi Allah, dan ketika menerima balasan surga yang dijanjikan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi lainnya, "Shaum adalah tameng yang dengannya seorang hamba terlindung dari api neraka, dan shaum adalah untuk-Ku dan Akulah yang akan langsung membalasnya" (HQR Ahmad, Baihaqy dari Jabir bin Abdillah ra).



dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

Tidak ada komentar: