31 Januari 2009

Muhasabah Ramadhan

Allah SWT berfirman,

"Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan" (Al-Hasyr: 18).

Rasulullah SAW bersabda,

"Orang yang cendekia adalah yang mengoreksi dirinya dan mempersiapkan amal untuk bekal sesudah mati, dan orang bodoh (lemah) adalah yang menuruti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah" (Hr. Tirmidzi).

Nah, sebagai upaya untuk membantu apa yang sudah kita kerjakan di bulan Ramadhan, berikut ini ada beberapa catatan "muhasabah an-nafs" untuk memantau aktivitas diri meningkatkan kualitas pribadi dan jama'i, yaitu:
  • Apakah anda selalu menyempatkan diri untuk bangun malam dimalam Ramadhan, meskipun itu adalah perkara yang berat? Dan setelah Ramadhan, masihkan anda luangkan waktu malam anda untuk bangun dan shalat malam meskipun hanya sebentar?
  • Apakah anda menyadari bahwa sesungguhnya Allah mempunyai malaikat-malaikat yang selalu mengikuti dan meneropong di waktu siang dan malam hari?
  • Apakah anda selalu menunaikan shalat fajar tepat pada waktunya dengan berjama'ah?
  • Apakah anda mengingat Allah disaat sepi dengan rasa khusyu' hingga meneteskan air mata?
  • Ketika anda duduk didepan meja hidangan, apakah anda sedikitpun tidak berfikir tentang manfaat makanan? Tentang besarnya nikmat Allah? Tentang saudara-saudara anda yang fakir, miskin dan kelaparan? Dan sudah yakinkah anda bahwa apa yang anda makan halal dan thayyib?
  • Sudahkan anda meyakini dan memahami bahwa bekerja merupakan ibadah dan jihad? Dan sudahkah anda menunaikan kewajiban ini dengan sungguh-sungguh, tekun, ikhlas dan profesional?
  • Sudahkan anda menyisihkan sebagian harta untuk zakat, infaq, dan shadaqah kepada kaum fakir, miskin, dan mereka-mereka yang membutuhkan uluran tangan kita? Apakah anda sudah menunaikan zakat wajib?
  • Ketika anda berada dijalan raya dan ditengah-tengah masyarakat yang majemuk, lalu apakah anda merasakan pengawasan (muraqabah) dan kesertaan (ma'iyah) Allah? Dan sudahkan anda berlaku ihsan (baik, profesional) terhadap Allah dan sesuai aturan Allah dalam segala hal?
  • Apakah anda senantiasa dan bersegera menundukkan pandangan bila menyaksikan segala yang tidak halal bagi anda?
  • Apakah ketika anda berdagang itu mencari yang halal, meskipun ada diantara mereka yang berdagang dengan melalaikan syariat Allah?
  • Apakah anda sudah merasakan bahwa setiap tingkah laku anda diawasi oleh Allah Azza wa Jalla? Ataukah anda sudah merasa terawasi akan tetapi masih tetap melanggar, sebab anda mengira umur anda masih panjang?
  • Sudah berapakah amal-amal islami yang anda kerjakan? Apakah saudara mukmin anda telah merasakan manfaat amal anda itu? apakah anda sudah menziarahi mereka untuk memperkuat ukhuwah dan meningkatkan ketaatan?
  • Berapa banyak waktu yang anda luangkan untuk menghidupkan tsaqafah islamiyah dan tsaqafah 'ammah? Apakah hari ini anda telah menelaah Islam? Menelaah ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits Nabawi, meskipun hanya satu ayat kemudian dipahami tafsir dan maknanya? Sudahkah anda menghafalnya? Dan sudahkah anda mengamalkannya? Dan sudahkah anda juga mendakwahkannya?
  • Sudahkah anda mencurahkan waktu untuk berjihad dijalan Allah dengan waktu anda, dengan pikiran anda, dengan harta anda dan dengan jiwa anda? Dan sabarkah anda dijalan dakwah dan jihad yang mulia ini? Dan sudahkan anda selalu berniat jihad dan syahid dijalan-Nya?
  • Sudahkah kewajiban-kewajiban anda dipenuhi? Terhadap Rabb anda? Terhadap badan anda? Terhadap Istri dan anak-anak, tetangga, orang-tua, saudara, dan orang lain? Dan... terhadap saku anda?
Allahu a'lam bis-shawab



dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

30 Januari 2009

Antara Kebajikan dan Dosa

Rasulullah SAW bersabda,

"Kebajikan adalah pekerti yang baik dan perbuatan dosa adalah apa yang bergejolak dalam hatimu dan engkau tidak suka bila diketahui oang lain" (HR. Muslim).

Bila kita renungkan "kebajikan" merupakan hal yang sekarang sangat sulit didapatkan, tetapi dosa justru banyak kita saksikan dengan mudah dan ada di mana-mana. Coba saja Anda ingat, orang untuk mengemukakan sesuatu yang benar atau berpijak pada kebenaran seakan memegang bara dan banyak orang yang tak kuat melakukannya sehingga dia menceburkan diri dalam mayoritas masyarakat. Karena ukuran kebajikan sekarang seolah telah berubah. Sebagai misal ada prinsip Machiaveli, prinsip menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, "sebuah keburukan yang dilakukan oleh sekian ribu orang dianggap menjadi kebajikan". Orang pacaran dan kumpul kebo karena dilakukan banyak orang dianggap wajar, hamil di luar nikah sering terjadi dan tiada yang mau memberi sanksi hukum pada pelakunya. Akhirnya merekapun begitu mudah untuk melakukan aborsi, yang pada hakekatnya sebuah pembunuhan sadis. Ini berarti orang modern tapi perilakunya jahiliyah. Berarti sama halnya dengan jahiliyah modern.

Bila kebajikan dalam Islam adalah sebuah amal yang bisa menentramkan jiwa, tapi orang modern justru banyak yang tidak tentram dengan "kebaikan". Mereka lebih suka mengikuti arus yang mengalir sehingga tidak mempunyai prinsip hidup yang jelas.

Apabila kembali pada Islam sesungguhnya peluang kebajikan dalam Islam sangat banyak dan luas. Ibnu Umar ra misalnya, mengatakan bahwa al birr (kebajikan) itu suatu perkara yang ringan, yaitu bermuka manis dan bertutur kata yang lembut. Dan dalam hadits Rasul SAW banyak sekali dipaparkan pintu-pintu kebaikan yang bernilai ibadah, seperti hadits "kullu ma'ruufin shadaqah... setiap kebaikan adalah shadaqah" "tabassumuka fii wajhi akhika shadaqah... senyummu di muka saudaramu adalah shadaqah".

Adapun dosa adalah sesuatu yang senantiasa bergolak dalam jiwa, tidak tenang, jengah, gelisah, gundah-gulana, ragu dan takut bila diketahui oleh orang lain. Namun sayangnya banyak perkara yang awalnya seorang merasa ragu untuk melakukannya, karena terbiasa dan lihai akhirnya menjadi lancar, biasa-biasa saja... meskipun nuraninya menjerit. Misal orang berzina, minum khamr, judi, korupsi, dan kolusi sangat tahu bahwa itu haram, tapi karena terbiasa rasa bersalah itu tak lagi muncul. Inilah pertanda tertutupnya hati dan hilangnya rasa malu, sebagaimana peringatan keras Rasulullah, "Idzaa lam tastahii fashna'maa syi'ta... Apabila kamu tidak malu berbuatlah sekehendak hatimu". Juga rambu-rambu lain dari Rasulullah bahwa orang yang berbuat dosa dalam hatinya akan ada noktah atau noda hitam. Bila bertaubat maka noda itu akan terhapus dan kembali bersih, tapi bila dosa dilakukan berulang-ulang maka ia akan menjadikan hati keras dan tertutup. Lebih keras dari batu.

Untuk itu hal yang mesti kita camkan adalah ketika kita melakukan dosa mintalah fatwa pada hati nurani kita masing-masing.

Rasulullah SAW bersabda,

"Mintalah fatwa pada hatimu. Kebajikan adalah sesuatu yang membuat jiwa tenang dan hatimu tenteram, sedangkan dosa adalah yang bergejolak dalam jiwa, membuat gundah serta ragu-ragu dalam dada, walaupun orang-orang berbicara dan memberi fatwa kepadamu" (HR. Ahmad).



dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

29 Januari 2009

Manajemen Diri

"Pokok dasar seseorang adalah akalnya, keluhurannya adalah agamanya, dan harga dirinya dan akhlaqnya" (Umar bin Khathab ra.).

Jika kita bercermin pada keberhasilan dakwah Rasulullah, sesungguhnya salah satu kuncinya adalah terencana dan terprogramnya langkah-langkah dakwah Beliau dan terjaganya keistiqamahan di jalan dakwah. Sehingga tak mengherankan bila dikatakan "gagal merencanakan berarti merencanakan kegagalan" karena suksa dalam menentukan tujuan sudah merupakan separuh dari keberhasilan itu sendiri. Hal ini sesungguhnya telah ditunjukkan dalam ayat Al-Qur'an, hadits nabawi, maupun atsar sahabat, dan hikmah salafush shalih agar setiap muslim mampu memanajemen diri secara baik. Allah Azza wa Jalla berfirman,

"Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu perbuat" (Al-Hasyr: 18).

"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah..." (Al-Qashash: 77).

Rasulullah SAW bersabda,

"Orang yang cendekia adalah yang mengoreksi dirinya dan mempersiapkan amal untuk bekal sesudah mati, dan orang bodoh (lemah) adalah yang menuruti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah" (HR. Tirmidzi).

"Orang mukmin makan dengan satu usus, sedang orang kafir makan dengan tujuh usus" (HR. Bukhari).

"Segeralah beramal shalih sebelum datang 7 perkara, yakni akankah engkau menanti selain kekafiran yang melalaikan, atau kekayaan yang menyesatkan, atau penyakit yang merusak, atau unsur yang disegerakan, atau dajjal perkara ghaib yang ditunggu-tunggu, atau kiamat. Padahal kiamat adalah peristiwa dasyat dan mengerikan" (HR. Tirmidzi).

"Jagalah lima perkara sebelum datang lima perkara (jaga) usia mudamu sebelum tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, masa luangmu sebelum masa sempitmu dan hidupmu sebelum matimu".

Namun sayang banyak kita saksikan diantara kaum muslimin justru menghabiskan waktunya untuk berhura-hura dan berfoya-foya, mematung diri di depan layar kaca menikmati telenovela sambil makan kwaci yang tiada bergizi, bercengkerama di pojok-pojok jalan dan gang sementara masjid sepi dari pengunjung, bergerombol di mal untuk mejeng dan menjajakan diri dengan berbagai aksesori sementara majelis taklim sunyi, miskin penghuni, dan masih banyak fenomena pahit mengiris hati kita saksikan sehari-hari.

Berbeda sekali dengan apa yang dilakukan salafush shalih dalam membina diri dan memanajemen potensi. Mereka adalah orang-orang yang dapat membaca diri dan memetakan kemampuannya secara optimal.

Ada beberapa sebab dan faktor yang cukup berpengaruh terhadap rendahnya manajemen waktu pada kebaikan, khususnya membaca, belajar, dan mengkaji Islam.

1. Kurangnya pemahaman dan rasa tanggung jawab terhadap hakikat dan urgensi waktu

Yaitu ketiadaan rasa peduli terhadap apa yang dikerjakan, tanpa ada pembiasaan "planning" atau perencanaan kegiatan yang jelas, dihamburkan dalam hal-hal yang tidak bermanfaat atau digunakan untuk kebaikan tetapi tidak dalam bidang strategis. Akibatnya antara potensi yang terbuang dengan hasil yang dicapai tidak seimbang dan terjadi pemborosan. Misalnya untuk menggelar satu acara "pengajian akbar" yang sekarang trend, harus menguras waktu, tenaga, biaya, personel yang cukup besar dan banyak. Sementara kontribusinya terhadap "ishlahul ummah" atau perbaikan umat tidak sepadan. Padahal jika hendak menggelar kajian rutin yang sistematis dan terprogram tentu saja akan lebih banyak kemanfaatan yang dapat diraih, sekaligus murah meriah.

Maka tidaklah heran bahwa Rasulullah SAW jauh-jauh hari telah mewanti-wanti dengan sebuah hadits, "Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu di dalamnya (yaitu) kesehatan dan kesempatan" (HR. Bukhari).

Begitupun dengan sumpah dan peringatan Allah dalam beberapa surah Al-Qur'an, seperti Adh-Dhuha, Al-Ashr, sebagai rambu-rambu akan urgensi dan pentingnya menjaga waktu. Tetapi kebanykan manusia tidak menyadarinya.

2. Terbiasa dengan gaya hidup "taswif" (saufa-saufa, nanti...nanti)

Gejala yang banyak berkembang adalah kebiasaan untuk menunda-nunda pekerjaan, padahal saat itu sangat luang dan sangat mampu untuk mengerjakannya. Akan tetapi karena didorong oleh rasa malas yang menggelutinya, ditambah dengan kemanjaan pada perangkat teknologi dan piranti elektronik semacam tv, orang menjadi enggan bekerja cekatan dan cenderung menunda-nunda. Hal ini karena "merasa" banyak memiliki waktu, padahal sesungguhnya waktu itu hanya ada tiga, yaitu kemarin yang telah berlalu dan bukan lagi milik kita, sekarang yang sedang dijalani dan itulah yang sedang dalam genggaman kita, serta waktu nanti yang belum kita memilikinya. Bila menyadari hakikat ini, barulah kita tahu bahwa sebenarnya kewajiban-kewajiban kita itu lebih banyak dari pada waktu-waktu yang tersedia. Mengapa? Karena semakin kita memanfaatkan waktu justru akan semakin berharga waktu itu bagi kita. Demikian pula sebaliknya, semakin disia-siakan akan semakin hambar dan hampalah hidup ini, karena tidak ada kemanfaatan yang dapat diperbuat.

Berangkat dari sini, mestinya kita sadar untuk sesegera mungkin menunaikan tanggung-jawab dan amanah yang dipikul di pundak kita serta janganlah terbiasa untuk menunda-nunda pekerjaan. Karena bila ajal telah datang, ia akan datang dengan tiba-tiba, bisa datang dengan cepat tanpa dapat dimajukan atau diundur barang sedetikpun.

Allah SWT berfirman,

"Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula memajukannya" (Yunus: 49).

Redaksi senada juga termaktub dalam surat Al-A'raf ayat 34 dan surat An-Nahl ayat 61.

3. Pengaruh gaya hidup instan, serba cepat tersaji

Fenomena yang cukup menarik kita saksikan dan sungguh memprihatinkan adalah gaya hidup baru: instan. Yaitu menginginkan segala yang dikehendakinya segera terwujud, tanpa melalui sunnatullah atau sunah kauniyah berupa tahapan-tahapan dalam amal. Ini terjadi karena cepatnya teknologi yang tidak diimbangi kesiapan ruhani atau ma'nawiyah untuk mengendalikannya. Hidup laiknya sebungkus mie instan yang lima menit tersaji, atau bahkan mie remas yang sekali remas siap ditelan. Sehingga ia berfikir bahwa untuk mendapatkan sesuatu "harus" cara yang termudah tanpa perlu bekerja keras.

Akibat yang cukup gamblang adalah makin meruyaknya kejahatan sebagai cara untuk mewujudkan impian yang serba gemerlap, terlebih dipicu oleh gencarnya media menawarkan pola hidup hedonis, bersenang-senang dan pola hidup konsumtif-materialis.

Dalam konsep waktu, orang-orang semacam ini tidak sabar untuk merancang dan merencanakan hidupnya dalam tatanan disiplin dan ketertiban, karena yang penting adalah tujuan tercapai dan kesenangan serta hasrat terpuaskan. Sehingga segala cara ditempuh untuk merealisir tujuan. Penyuapan terjadi dimana-mana, kolusi dan korupsi merajalela, manipulasi dan konspirasi kejahatan menggejala di berbagai bidang, penjegalan, potong kompas adalah pemandangan yang terlalu sering kita saksikan, easy going menjadi alternatif pilihan, nepotisme menjadi cara "terbaik", karena -menurut mereka- mencari yang haram saja sulit, apalagi yang halal. Padahal jelas sekali bahwa sikap "instan" seperti ini termasuk metodologi penyesatan setan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW,

"Sikap tergesa-gesa adalah dari setan, dan pelan-pelan (berhati-hati) adalah dari Allah" (HR.Tirmidzi).

4. Terbiasa hidup serabutan dan tanpa aturan dalam melakukan sesuatu, baik yang dilaksanakan sendiri maupun kolektif

Kita saksikan etos kerja sebagian masyarakat kita sangat rendah, yaitu melakukan kegiatan dengan acak-acakan, tidak sistematis dan tidak beraturan. Sehingga banyak masalah penting atau primer yang tersingkirkan oleh masalah-masalah sekunder. Tiadanya prioritas dalam amal yang prinsip sehingga berakibat terbuangnya potensi percuma tanpa ada hasil. Selain itu rute perjuangan menjadi lebih panjang dan beban dakwah menjadi semakin berat. Sebagai contoh kecil, adalah fenomena maraknya pembangunan masjid tetapi tidak diiringi pemakmuran kegiatannya. Adanya kebanggaan untuk haji dan umrah berkali-kali yang lebih pada kenikmatan ibadah secara pribadi. Padahal disaat yang sama banyak kaum dhu'afa yang membutuhkan uluran tangan. Banyak digelar berbagai pesta yang mewah dan super meriah disaat sebagian besar umat tertimpa musibah kekeringan, kelaparan, kebakaran, dan sebagainya.

5. Warisan penjajah

Akibat dijajah yang terlalu lama, mental yang mendominasi kepribadian bukanlah mental orang merdeka yang tahu, mau dan mampu menata diri dengan baik, tetapi lebih suka untuk "ngawula" (mengabdikan diri) kepada kepentingan tertentu. Kita lebih senang untuk menjadi "buruh besar" daripada untuk menjadi "majikan kecil". Hal ini cukup dalam bentuk kreativitas usaha dan kinerja, tetapi lebih suka untuk menjadi buruh berbagai bidang kerja yang telah digelar. Laiknya sebuah kehidupan kolonial yang membagi manusia menjadi beberapa golongan, sehingga otoritas, dan kemandirianpun tidak segera muncul.

Mestinya kita sadar dengan sesadar-sadarnya bahwa "kita adalah bangsa yang cinta damai tetapi kita lebih mencintai kemerdekaan". Dan hal ini sungguh sangat selaras dengan misi risalah Islam yaitu membebaskan manusia dari penghambaan sesama kepada penghambaan hanya kepada Rabb-nya manusia. Berarti merdeka itu harus, dan mandiri itu sebuah kemestian untuk menentukan nasib diri dan menentukan perubahan umat menuju sukses dunia akhirat.

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga kaum itu mengubah apa -apa yang ada pada diri mereka (jiwanya)" (Ar-Ra'du: 13).

Ini berarti, suksenya perubahan umat tergantung kemampuan masing-masing jiwa untuk "berani" mengubah dan menata kehidupannya, barulah kemudian Allah berkenan meridhai perubahan itu dengan hidayah dan inayah-Nya. Oleh karena itu, warisan-warisan kebiasaan di masa penjajahan harus diubah menjadi kebiasaan baru manusia merdeka, sehingga layak tampil ke depan membangun peradaban.



dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

27 Januari 2009

Jalan Menuju Taubat

Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya (taubat nashuha)" (At-Tahrim: 8).

Taubat merupakan ungkapan penyesalan yang kemudian menghasilkan suatu hasrat dan tujuan. Penyesalan juga menghasilkan pengetahuan bahwa berbagai kedurhakaan akan menjadi penghalang antara diri manusia dengan kekasihnya.

Syarat-syarat Taubat

1. Penyesalan

Yakni duka dalam hati karena berpisah dengan kekasihnya. Tandanya adalah kesedihan yang mendalam dengan disertai tangisan.

2. Memeriksa kembali amal-amalnya

Orang yang bertaubat harus memeriksa kembali shalatnya yang pernah ditinggalkannya, atau mengerjakannya tetapi tanpa memenuhi syarat. Seperti bajunya terkena najis, atau niat yang tidak benar, atau karena memang dia tidak mengetahuinya. Karena itu ia harus mengqadha semua itu. Demikian juga dengan amal lain seperti puasa, haji, zakat, shadaqah, dakwah dan berbagai amal kecil maupun besar.

3. Memeriksa kedurhakaannya

Seorang yang hendak bertaubat hendaknya memeriksa kembali kedurhakaannya yang pernah dilakukannya, meneliti sebab-musabab kedurhakaan itu, sejak awal, pengaruh dan rasanya dalam hidup. Jika kedurhakaan itu antara dia dengan Allah, maka dia harus bertaubat dengan menyesali dan mohon ampun. Demikian juga harus melihat kadar dosanya tersebut. Setiap kedurhakaan harus dihapus dengan kebaikan yang setingkat, kemudian lakukanlah kebajikan itu. Allah berfirman, "Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk" (Hud: 114).

Rasulullah SAW bersabda, "...dan ikutilah perbuatan-perbuatan buruk dengan perbuatan baik, maka kebaikan itu akan menghapuskannya..." (HR. Tirmidzi).

Sedangkan kezhaliman terhadap manusia, juga terkandung kedurhakaan terhadap Allah. Sebab Allah juga melarang kezhaliman terhadap manusia, juga terhadap dirinya sendiri. Untuk itu ia harus menyadari kezhalimannya, menyesalinya dan berhasrat untuk tidak melakukannya lagi dimasa mendatang serta melakukan kebaikan-kebaikan yang banyak.

Jika pernah menyakiti hati manusia, maka dia harus memohon ridhanya dan berbuat baik kepada mereka. Jika pernah mengambil hartanya, maka harus ditebus dengan memberikan hartanya yang halal kepadanya. Bila pernah melecehkan kehormatannya maka harus menebusnya dengan memujinya dihadapan orang banyak. Jika pernah membunuh jiwa, maka dia harus memerdekakan budak.

4. Keteguhan hati

Yakni keteguhan hati dan komitmen untuk tidak melakukan dosa-dosanya lagi pada masa mendatang atau juga dosa-dosa yang serupa. Sebagai misal, orang yang sakit karena suatu makanan, maka harus menghindari makanan tersebut dan tidak memakannya, karena akan membuatnya sakit. Jangan seperti taubat lombok, yaitu merasakan kepedasan disuatu saat, menyesal, namun kemudian makan lagi dan pedas lagi dan demikian seterusnya.

Tingkatan-tingkatan Taubat
  1. Orang yang bertaubat dan bertahan pada taubatnya hingga akhir hayatnya, menyadari tindakannya yang menyimpang, tidak punya keinginan untuk melakukan dosa lagi, kecuali dalam perkara kecil dalam kehidupan sehari-hari yang tidak mungkin dapat dihindarinya. Inilah taubat nashuha.
  2. Orang yang bertaubat dengan meniti jalan istiqamah pada induk-induk ketaatan dan kedurhakaan yang besar, namun tidak bisa melepaskan diri dari dosa yang dilakukannya. Ini karena kurangnya keteguhan hati dan masih terperangkap dalam nafsu lawwamah. Derajatnya dibawah taubat nashuha.
  3. Orang yang bertaubat dan bertahan pada jalan istiqamah untuk beberapa saat, lalu nafsunya dapat menguasainya dan menjerumuskannya pada sebagian dosa. Dia melakukan dosa tersebut dan tidak kuasa menahan nafsu. Dia rajin melakukan taat juga meninggalkan beberapa dosa yang dapat ditinggalkannya, sekalipun ada bisikan nafsu. Lalu setelah Allah memberinya taufik, dia menghentikannya, menyesal, serta bertaubat dari kesalahannya. Inilah jiwa mas'ulah, yakni mengaku dosa dan masih mencampur-adukkan kebaikan dan keburukan (At-Taubah: 102).
  4. Orang yang bertaubat dan istiqamah barang sesaat, lalu dia kembali melakukan dosa dan tenggelam di dalamnya, tanpa berhasrat untuk bertaubat dan tidak menyesali perbuatan dosanya. Ini termasuk orang yang tenggelam dalam al-amarah bis-suu'i, sekalipun dia masih takut terhadap su'ul khatimah. Jika dia mati dan tetap dalam taufik, maka dia masih bisa diharapkan untuk keluar dari neraka sekalipun setelah sekian lama.


dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

26 Januari 2009

Mujahadah

Allah SWT berfirman, "Dan orang-orang yang berjihad di jalan Kami, sungguh benar-benar akan Kami tunjukkan jalan-jalan Kami..." (Al-Ankabuut: 69).

Makna mujahadah adalah apabila seorang mukmin terseret dalam kemakasan, santai, cinta dunia dan tidak lagi melakukan amal-amal wajib maupun sunah tepat pada waktunya, maka ia harus memaksa dirinyya melakukan amal-amal sunah lebih banyak dari sebelumnya. Seperti dengan memperbanyak tilawah Al-Qur'an, shaum sunah, shalat sunah, shadaqah dan infaq, meningkatkan pemahaman Islam dan mengamalkannya serta mendakwahkannya. Sebagai mana shalat malam Rasulullah SAW yang sampai bengkak-bengkak kaki Beliau.

Rasulullah SAW juga sangat keras dalam bermujahadah di bulan Ramadhan. Dalam riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra ia berkata, "Apabila Rasulullah SAW memasuki sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, beliau menghidupkan malam dengan ibadah, membangunkan keluarganya, bersungguh-sungguh dan mengencangkan ikat pinggang".

Rasulullah membiasakan puasa tiga hari dalam tiap bulan dan tidak pernah meninggalkannya, yaitu pada tanggal 13, 14, 15 bulan hijriah yang dikenal "puasa ayyamil bidh" puasa hari-hari putih.

Umar ra bila ketinggalan shalat berjama'ah maka malam harinya beliau isi dengan ibadah dan tidak tidur.

Seorang ulama terdahulu berkata, "Kalau saya merasa malas dalam beribadah, maka saya perhatikan Muhammad bin Wasi (seorang alim yang banyak beribadah) dan bagaimana kesungguhannya dalam beribadah, kemudian saya ikuti cara ibadahnya selama satu minggu."

Amir bin Qais selalu shalat seribu raka'at setiap harinya. Al-Aswad bin Yazid berpuasa sampai kelihatan pucat pasi. Masruq ketika melakukan ibadah haji tidak pernah tidur kecuali sambil sujud.

Rambu-rambu dalam mujahadah:
  1. Hendaklah amal-amal sunah tidak membuatnya lupa terhadap kewajiban yang lain. Ada ungkapan mengatakan bahwa, "Orang meninggalkan sunah karena mengerjakan yang wajib adalah diampuni, tetapi bila orang meninggalkan yang wajib karena mengejar perkara sunah maka ia lalai dan rugi".
  2. Tidak memaksakan diri dengan amal-amal sunah yang di luar kemampuannya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Hendaklah kalian beramal sesuai kemampuan kalian. Demi Allah, Allah tidak akan bosan sehingga kalian merasa bosan".
  3. Memiliki fiqih prioritas. Artinya harus menimbang antara waktu-waktu utama untuk amal-amal yang utama dan tepat, sehingga menghasilkan amal yang produktif, efektif, dan efisien. Seperti siang hari untuk bekerja, mengkaji wawasan ilmiah islamiyah, berdakwah, ziarah, menebarkan kebaikan di tengah umat, sedangkan malam hari beristirahat dan bermunajat.
Majahadah Rasulullah SAW

Rasulullah SAW tidur di awal malam dan menghidupkan akhirnya (HR. Muttafaq 'alaih). Bantal yang digunakan Rasul SAW untuk alas tidur malam terbuat dari kulit yang diisi dengan ijuk (HR. Ahmah). Aisyah ra bertanya, "Ya Rasulullah apakah engkau tidur sebelum mengerjakan shalat witir?" Rasul SAW menjawab, "Ya Aisyah, kedua mataku tidur tapi hatiku tidak akan tidur" (Muttafaqun 'alaih).

Nabi SAW senantiasa bangun ketika mendengar ayam jantan berkokok (HR. Muttafaq 'alaih).

Kemudian, Rasulullah SAW melaksanakan shalat lail (tahajjud) hingga kedua tumitnya bengkak. Ketika Aisyah ra bertanya, "Mengapa engkau lakukan hal itu? Bukankah Allah sudah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?" Rasul SAW menjawab, "Bukankah sepantasnya aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?" (HR. Muttafaq 'alaih).

Apabila memasuki sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, beliau menghidupkan malam (dengan ibadah), membangunkan keluarganya, bersungguh-sungguh dan mengencangkan ikat pinggang.

Rabi'ah binti Ka'ab berkata, "Suatu malam saya bersama Rasul SAW lalu aku mengambil air wudhu dan kebutuhan-kebutuhannya." Kemudian Beliau bersabda, "Mintalah kepadaku" saya katakan, "Saya memohon agar bisa menyertai Anda di jannah" Nabi SAW berkata, "Tidakkah engkau minta yang lainnya?" saya katakan, "Itulah permintaan saya" Nabi SAW bersabda, "Kalau begitu tolonglah saya (untuk menyelamatkan dirimu) dengan memperbanyak sujud (shalat)" (HR. Muslim).

Itulah profil manusia utama di dalam menapaki kesyukuran dalam berqarrub kepada Allah.

Demikian juga pada generasi salafush shalih yang menyertai Beliau sehingga layak digelari julukan generasi qur'ani.

Ali bin Abi Thalib ra berkata, "Siapa yang telah mencetuskan dirinya untuk menjadi ikutan dan panutan masyarakat, hendaklah ia memulai mendidik dirinya terlebih dulu sebelum mendidik orang lain. Kalau membina, hendaklah terlebih dulu dengan teladan sebelum ucapan. Membina diri lebih perlu dari pada membina orang lain".

Uwais Al-Qarni adalah seorang tabi'in. Diceritakan dari Asbagh bin Zaid berkata, "Jika sore hari telah tiba Uwais berkata, 'Ini saat untuk rukuk, lalu dia melakukan shalat hingga fajar. Setelah pagi tiba ia suka bersedekah. Dengan ada di rumahnya jiwanya merasakan apa yang dirasakan oleh masyarakatnya. Dia suka berdoa, "Ya Allah, jika hari ini ada yang mati karena lapar dan telanjang, janganlah salahkan aku."

Dari Asad bin Wada'ah dari Syaddad Al-Anshari berkata, bahwa Syaddad bin Aus setelah masuk tempat tidurnya tidak segera tidur. Sambil berbaring ia berdoa, "Ya Allah, api telah menghilangkan kantukku." Kemudian dia bangun lagi dan terus shalat hingga fajar.

Malik bin Dinar ra pergi haji. Lalu ia bercerita, "Aku berdiri di bukit Arafah, sedang para hujjaj ramai-ramai menggemakan talbiyah dan doa. Saat itu ada seorang laki-laki diam saja. Kutegur ia, "Mengapa kau diam saja...?" "Aku tidak bisa membacanya...!" jawabnya.

Malik bin Dinar selanjutnya bertutur, "Aku perhatikan keadaannya sampai waktu maghrib, dan barulah ia membaca doa, sambil mengangkat kepalanya, "Ilahi...! Badan penuh cacat! Lisanpun penuh cacat, lebih-lebih hatiku...! Dan inilah aku datang ke hadiratMu! Labbaik Allahumma Labbaik! Laa syarikalaka labbaik...! Tiba-tiba kudengar suara ghaib menyahut, "Labbaik...! Aku datang wahai hamba-Ku. Ini dia dihadapanmu...!"



dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

25 Januari 2009

Tingkatan Sabar

1. Sabar dalam menunaikan ketaatan, yaitu:
  • sebelum ibadah, yakni dengan senantiasa meluruskan niat, ikhlas dan sabar mem- bersihkan noda-nodanya.

  • tatkala melaksanakan ibadah, yaitu jangan melalaikan Allah saat ibadah, jangan malas menunaikan adab-adabnya, dan sunah-sunahnya, juga harus sabar untuk meninggalkan kesibukan yang mengganggu aktivitas ibadah.
  • seusai ibadah, yakni sabar untuk tidak memamerkan dan menceritakannya karena riya' atau bangga dengan amal ('ujub) atau mencari popularitas sehingga menggugurkan pahalanya.
2. Sabar dalam menjauhi kemaksiatan

Yaitu menahan diri dari berbagai bentuk kedurhakaan seperti ketergelinciran lidah dalam ghibah, namimah, dusta, pamer, banyak omong, suka berdebat dan banyak membantah. Juga kesabaran anggota badan lain, mata dari melihat yang tidak halal baginya, telinga dari mendengar hal-hal yang bukan haknya atau sabar tangan dari memegang atau mengambil sesuatu yang bukan miliknya.

3. Sabar dalam menghadapi musibah

Yakni sabar saat menerima berbagai hal yang di luar keinginan dan hasrat hatinya, atau di luar perkiraan. Seperti datangnya musibah yang tidak terduga, kematian orang yang dicintai, kehilangan barang yang berharga, musnahnya harta benda, datangnya kebutaan yang tiba-tiba, tidak sehat dan berbagai cobaan kehidupan.

Rasulullah SAW bersabda, "Man yuriidillaahu bihi khairan yushib minhu..."

"Barang siapa yang dikehendaki Allah mendapat kebaikan, maka Dia akan menimpakan bencana baginya" (HR. Bukhari).


dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

24 Januari 2009

Fadhilah Sikap Jujur

Karena begitu berat dan pentingnya kejujuran dalam kehidupan, maka Allah memberikan fadhilah (atau keutamaan) yang sangat besar dan banyak bagi hamba-hamba-Nya yang jujur. Diantaranya:

  1. Jujur merupakan sifat yang dimiliki oleh para Nabi dan Rasul
    Para Nabi dan Rasul adalah orang-orang yang diberi amanah untuk memikul risalah dan menyampaikan (Maryam: 41, 44-46). Untuk itu perangkat utama yang mereka miliki adalah akhlaq jujur, sehingga bila ada yang mendustakan risalah itu bukanlah karena kesalahan risalahnya atau nabinya, tapi memang karena kesombongan manusia yang menentang risalah tersebut.
  2. Jujur merupakan pintu keberuntungan
    Ibnu Abbas ra berkata, "Ada empat perkara yang jika seseorang memilikinya maka ia akan menggapai keberuntungan, shiddiq, rasa malu, akhlaq yang baik, bersyukur".
  3. Jujur adalah senjata mukmin
    Abu Sulaiman berkata, "Jadikanlah kejujuran dalam hatimu dan jadikanlah kebenaran dalam pandangan, jadikanlah Allah Ta'ala tujuan dan tuntunanmu".
  4. Ketenangan dan keberanian
    Orang yang jujur akan tenang dalam melangkah tanpa dirisaukan oleh rasa was-was. Karena orang mempercayai dirinya dan ia pun mantap karena tidak menimbun dosa terhadap sesamanya.
Hakikat Kejujuran

Pada hakikatnya kejujuran dapat diwujudkan dengan,
  1. Melaksanakan amal karena Allah dengan menyelaraskan antara lahir dan bathin.
  2. Berani mengatakan perkataan yang benar terhadap orang yang anda takuti dan orang yang anda harapkan.
  3. Jujur dalam sebuah tempat tidak mungkin diterapkan disitu kecuali dusta dana perkataan bohong. Ini artinya tiap mukmin dituntut untuk istiqamah dalam kejujuran, berkata haq dalam kondisi apapun dan bagaimanapun.
Rasulullah SAW bersabda, "Semua dusta ditulis menjadi dusta kecuali dusta dalam tiga hal, dalam peperangan karena perang adalah tipu daya, ketika ingin mempersatukan dua orang yang bertengkar, berdusta kepada istri untuk mencari keridhaannya".



dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

23 Januari 2009

Bahaya Cinta Dunia

Allah Azza wa Jalla berfirman,

"Barang siapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia ini tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah yang telah mereka kerjakan" (Hud: 15-16).

Rasulullah SAW menggambarkan kondisi umat Islam seperti hidangan yang "siap santap" dan dikerumuni oleh musuh-musuh Islam. Rasulullah SAW bersabda,

"Suatu saat nanti kalian akan dikerumuni (dijarah beramai-ramai) oleh umat-umat manusia layaknya hidangan yang dikerumuni orang kelaparan". Sahabat bertanya, "Apakah karena jumlah kami sedikit, ya Rasulullah?" "Bahkan jumlah kalian banyak pada hari itu, akan tetapi banyaknya kalian seperti buih, maka Allah cabut dari hati musuh-musuh kalian perasaan takut terhadap kalian, dan diletakkan dalam hatimu penyakit al-wahn", jawab Rasulullah SAW. "Apakah penyakit al-wahn itu ya Rasulullah?" Rasulullah menjawab, "Cinta dunia dan takut mati".

Bahaya cinta dunia:

1. Sumber segala kesalahan

Imam Ahmad menceritakan dari Imam Sofyan, bahwa beliau berkata, "Isa bin Maryam as berkata, "Cinta dunia itu sumber segala kesalahan dan di dalam harta benda terdapat banyak penyakit. Para sahabat bertanya, "Apa penyakitnya?" Beliau menjawab, "Orang yang cinta dunia tidak dapat meninggalkan sifat bangga dan angkuh". "Kalau dia bisa menghindari sifat tersebut?" tanya mereka. "Dia akan sibuk mengurus dan meningkatkannya hingga lalai dari dzikir kepada Allah Azza wa Jalla", jawab Beliau.

2. Lalai dari cinta dan dzikrullah adalah bahaya terendah dari cinta dunia

Karena barangsiapa dilalaikan oleh harta bendanya, dia akan merugi. Terlebih bila lalai dari dzikrullah, ia akan hanya seperti mayat. Bila hati sepi dari dzikir ia akan dihuni dan disetir setan sesuai kehendaknya. Dalam sebuah riwayat menyebutkan bahwa iblis berkata, "Jika seorang manusia telah dikuasai (hatinya) dan menjadi lemah, maka kami akan membolak-balikan hatinya bagaikan seorang anak kecil mempermainkan bola".

3. Menjadi penghuni neraka

Cinta dunia menjadikan neraka dipenuhi orang, sedangkan sikap zuhud terhadap dunia memuatnya ramai surga.

4. Mabuk karena cinta dunia lebih berbahaya daripada karena minuman keras

Karena orang yang mabuk karena cinta dunia tidak akan sadar kecuali setelah berada di dalam kubur. Yahya bin Mu'adz berkata, "Dunia itu araknya setan. Barang siapa mabuk karenanya, ia tidak akan segera sadar, kecuali setelah berada di tengah kumpulan orang mati dalam keadaan menyesal di antara orang-orang yang merugi".

5. Pengagungan berlebihan terhadap dunia

Cinta terhadap dunia menuntut manusia dipandang mengagungkan dan mementingkannya, sedangkan di mata Allah dunia itu rendah dan hina.

Mengagungkan sesuatu yang dipandang rendah oleh Allah termasuk dosa besar. Jabir bin Abdillah ra bekata, "Rasulullah SAW pernah memasuki sebuah pasar yang di kiri-kanannya dipadati manusia. Ketika itu beliau melewati seekor kambing kuper (telinganya kecil) yang telah menjadi bangkai. Lantas Beliau menenteng telinga kambing itu seraya berseru, "Siapakah yang mau membeli kambing ini dengan harga satu dirham?" Pengunjung pasar menjawab, "Sedikitpun kami tidak menginginkannya". Beliau bertanya lagi, "Apakah kalian mau jika anak kambing ini kuberikan cuma-cuma kepada kalian?" Mereka menjawab, "Demi Allah, kalaupun anak kambing itu hidup, kami tidak akan menerimanya karena cacat, maka bagaimana kami mau menerimanya setelah menjadi bangkai?"

Mendengar hal ini Rasulullah SAW bersabda, "Demi Allah, sesungguhnya dunia itu lebih hina dalam pandangan Allah daripada bangkai kambing kuper ini dalam pandangan kalian" (HR. Muslim).

6. Mendapat kutukan Allah

Allah mengutuk, memurkai, dan membenci kecuali jika kehidupan dunia hanya ditujukan semata-mata untuk mencari keridhaan-Nya.

7. Mengubah orientasi amal shalih

Apabila seseorang mencintai dunia otomatis ia akan menjadikannya sebagai tujuan, sehingga amal-amal shalihpun yang dijadikan Allah sebagai jembatan menuju keridhaan-Nya justru dijadikan untuk mencari kehidupan dunia. Sebagai misal, orang yang berdakwah atau mengerjakan amal shalih untuk mendapatkan amplop atau kedudukan dan kursi tertentu.

8. Penghambat amal shalih

Cinta dunia itu menjadi penghambat seseorang untuk beramal shalih, sebab disibukkan untuk mengurusi dunia sehingga waktunya habis tersita olehnya. Dalam hal ini manusia terbagi menjadi beberapa klasifikasi:
  • Ada yang sibuk dengan dunianya sehingga melalaikan keimanan dan syari'at-Nya.
  • Ada yang sangat cinta terhadap dunia sehingga melalaikan ibadah dan kewajiban.
  • Ada yang melaksanakan kewajiban tertentu dengan meninggalkan kewajiban yang lain.
  • Dia yang tidak melaksanakan kewajiban dan ibadah pada waktu yang telah ditentukan.
  • Ada yang melakukan ibadah tapi hanya lahirnya sedangkan hatinya selalu ingat pada urusan dunia.


Rata Penuh
dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

22 Januari 2009

Pintu Masuk Syetan Dalam Hati Manusia

"Orang-orang yang beriman menjadi tentram hatinya dengan mengingat Allah. Ketahuilah (ingatlah) dengan mengingat Allah tentramlah hati" (Ar-Ra'd: 28).

Perumpamaan hati manusia itu laksana benteng. Dan setan itu adalah musuh yang selalu mengintai dan ingin memasuki benteng tersebut, menguasai dan merajainya. Dan penjaga benteng tidak akan mampu menjaga dan memenangkannya kecuali dengan memahami karakteristik pintu-pintunya serta menjaganya dengan ketat. Begitupun manusia tidak akan mengusir setan dari hati kecuali dengan memahami secara benar karakteristik pintu-pintu masuknya setan dalam hati manusia.

Pintu-pintu masuknya setan sesungguhnya merupakan sifat-sifat (khas) yang terdapat dalam diri manusia itu sendiri. Dan itu banyak sekali. Karena banyaknya, maka disini hanya dijelaskan pintu-pintu "besar" yang digunakan setan dalam menggoda manusia.

Hasad (dengki), Rakus, Tamak

Maka ketika manusia tamak terhadap sesuatu, ketamakan itu akan menjerumuskannya pada kejahatan dan menenggelamkannya pada kehinaan.Dengan cahaya dan bashirah-Nya hendaknya manusia senantiasa memohon kepada Allah agar menolong dirinya menjauhi sifat-sifat hina ini. Serta dengan mengiringi memahami sifat hakikat antara dunia dan akhirat.

Sikap hasad merupakan lubang-lubang hati yang mudah dimasuki setan. Karena sikap ini akan memberikan pengaruh tazyin (membuat keburukan seolah-olah sebuah kebaikan). Sehingga mengantarkan manusia terjerumus dalam syahwat, padahal itu merupakan perbuatan keji dan munkar.

Marah, Syahwat

Sesungguhnya kemarahan itu akan melemahkan akal, dan ketika akal telah lemah maka pasukan setan akan memperdaya, menghancurkan, merendahkan manusia serta mempermainkannya. Diriwayatkan bahwa iblis berkata, "Jika seorang manusia telah dikuasai (hatinya) dan menjadi lemah, maka kami akan membolak-balikan hatinya bagaikan seorang anak kecil mempermainkan bola".

Hubbut Tazyin

Yaitu suka berlebih-lebihan dalam menghias rumah, pakaian dan perabotan. Dia tak henti-henti- nya memakmurkan rumah, menghias-hiasinya. Suka bermegah dalam menghiasi pakaian dan perabotan rumah. Dan sungguh manusia akan merugi manakala umurnya yang dihabiskan untuk hal-hal seperti itu.

"Bermegah-megahlah telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk kubur..." (At-Takatsur: 1-2).

Asy-Syabu

Yaitu banyak makan. Sesungguhnya banyak makan akan menguatkan syahwat dan melalaikan ketaatan. Termasuk disini adalah sikap tamak (rakus). Karena orang-orang rakus akan memanjangkan angan-angan (thuulul 'amaal) dengan apa-apa yang tidak ada disisinya.

Sikap rakus juga mengakibatkan manusia tidak suka untuk mengajak yang ma'ruf (kebaikan) serta tidak peka untuk mencegah dari kemunkaran.

Al-'Ajlah

Yaitu suka menuduh, memvonis, dan tergesa-gesa dalam menjatuhkan putusan kepada seseorang, serta hilangnya sikap tatsabbut dan tabayyun (mencari kepastian dan kejelasan) sebuah berita. Rasul SAW bersabda, "Sikap tergesa-gesa adalah dari setan dan pelan-pelan (hati-hati, pelan-pelan) dari Allah" (HR. Tirmidzi).

Hubbul Maal (Cinta Harta)

Tatkala hubbul maal menang atas hati, ia akan merusakkannya. Setan mendatangi para 'pencari harta' dengan wajah yang berbeda-beda. Kemudian mengeluarkannya pada kekikiran, memberikan rasa takut miskin, dan membisikkan manusia untuk meninggalkan hak-hak dan kewajiban yang harus ditunaikannya.

Sikap Orang Awam yang Ta'ashub Terhadap Mazhab

Ketika orang-orang awam memiliki ta'ashub (cinta berlebihan dan fanatis, menolak kebenaran yang datang dari selain dirinya atau golongannya), maka akan melahirkan amal dan sikap yang tidak semestinya. Yaitu tidak adil. Sikap berlebih-lebihan terhadap mazhab ini akan melahirkan kesombongan, sehingga "menolak kebenaran dan meremehkan orang lain". Rasul SAW bersabda,

"Tidak akan masuk surga barangsiapa yang di dalam hatinya ada sebesar zarrah kesombongan. (Yaitu) menolak kebenaran dan meremehkan orang lain" (HR. Muslim).

Orang Awam Memikirkan Dzat Allah

Apabila manusia memikirkan sifat-sifat, dzat dan urusan-urusan di luar kekuatan dan kekuasaannya, maka akan menjerumuskan pada kesesatan dan melalaikan dari kebenaran. Sehingga ia ragu-ragu terhadap pokok-pokok (ushul dien) Islam.

Su'uzhan (Buruk Sangka) dengan Kaum Muslimin

Apabila orang berburuk sangka terhadap saudaranya sesama Muslim, maka sesungguhnya su'uzhannya itu akan melemahkan, menghancurkan dan memecah belah ukhuwah islamiyah. Ini berawal dari lisannya yang suka mencela orang lain, dan melihat dirinya merasa sempurna dalam kebaikan.

Su'uzhan itu akan menjerumuskan pada persangkaan yang kotor dan hina. Ini merupakan ciri kemunafikan. Karena orang mukmin senantiasa menjaga keselamatan saudaranya, sementara orang munafiq senantiasa mencari aib sesamanya. Ia senantiasa mengorek (menelusuri) celah-celah kehinaan, bagaikan seorang yang mencari daging busuk di tengah onggokan sampah, untuk "sekedar" mengetahui aib saudaranya dan menjatuhkan su'uzhan kepadanya. Dan ini akan memalingkan diri dari dzikir, sehingga dengan mudah memasuki hati melalui pintu ini (Ibnu Qudamah,h.: 148-150).


dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

21 Januari 2009

Langkah-Langkah Tazkiyatun Nafs

Allah Azza wa Jalla berfirman,

"Sungguh beruntunglah orang-orang mensucikannya (hati), dan merugilah orang-orang yang mengotorinya" (Asy-Syams: 9-10).

"Dan apabila disebut asma Allah bergetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah imannya, dan kepada Rabbnya mereka bertawakal" (an-Anfaal: 2-4).

Adapun langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam mensucikan jiwa adalah dengan:

1. Bersegera pada kebenaran

Yakni dengan senantiasa menyambut berbagai syiar dan seruan kebenaran dengan sambutan sami'na wa atha'na.. kami dengar dan kami taati (Allah) (Az-Zumar: 18; Al-Ahzab: 36; An-Nisaa': 65). Sebagai contoh adalah kesigapan para sahabat Rasul dalam menyambut larangan minum khamr. Mereka segera menghancurkan gentong-gentong minuman keras mereka, sehingga Madinah banjr khamr. Bahkan ada di antara sahabat yang baru saja minum khamr, segera memasukkan jarinya ke mulut untuk memuntahkan khamr yang baru diminumnya. Juga kesigapan para muslimah sahabat Rasul dalam menerima perintah hijab (jilbab), segera mereka ambil dan sobek kain yang dimilikinya untuk menutup auratnya, dada dan seluruh tubuhnya dengan jilbab untuk menunjukkan ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya.

2. Cinta kebenaran dan berlapang dada untuk Islam (Al-An'am: 125)

Artinya ia siap mengorbankan segala kesenangan pribadi dan egonya untuk mengamalkan Islam, tanpa ada tawar-menawar.

3. Menyambut seruan keimanan

Yakni digunakan segala waktu dan kesempatan untuk mengabdi kepada Allah (Al-Ashr: 1-3; Ali-Imran: 193).

Rasulullah SAW bersabda,"min husnil islaamil mar'i tarkuhu maa laa ya'niih... rawahu muslim... diantara kebaikan Islamnya seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak berguna baginya" (HR. Muslim). "Khairunnaasi man thaala 'umruhu wa hasuna 'amaluhu... sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik amalnya" (HR. Tirmidzi).

4. Banyak berdzikir

Yakni mewarnai kehidupannya dengan banyak mengingat Allah, diawali dengan asma Allah, beramal merasa diawasi Allah mengakhiri amal perbuatan dengan menyebut asma Allah. Mengadakan koreksi diri untuk semata-mata menggapai ridha Allah, bekerja semaksimal mungkin, sungguh-sungguh, efektif dan efisien untuk mencari kecintaan Allah. Manfaat dzikir adalah akan menjauhkan dari syetan, menyingkirkan kesusahan, mendatangkan ketentraman, mendatangkan rizki, membuka pintu ma'rifat kepada Allah, mengeyahkan perkataan kotor dan perbuatan sia-sia, hiburan orang susah dan miskin karena amal-amal banyak "diborong" orang-orang kaya, dan masih banyak lagi yang lainnya.

5. Yakin yang diikuti dengan pembenaran berupa amal shalih

Yakni keyakinan yang tiada henti pada konsep tetapi membuahkan amal nyata. Syahadat diikuti dengan shalat, nilai-nilai shalat diwujudkan dengan meninggalkan perbuatan keji dan munkar, menegakkan jiwa disiplin. Puasa mendidik jiwa sabar dan istiqamah direalisir di dalam kehidupan. Zakat diwujudkan dalam kepedulian sosial terhadap kerabat, tetangga, masyarakat maupun umat secara menyeluruh, karena masih banyak belahan dunia Islam yang miskin dan kelaparan. Nilai haji diwujudkan dengan meningkatkan pengorbanan untuk tegaknya masyarakat Islam, yakni selalu mendermakan apa yang dimilikinya di jalan Allah, baik waktu, harta, jiwa, maupun raganya untuk Islam (At-Taubah: 111) untuk ditukar dengan surga. Karena ibadah bukanlah sekedar "wisata ruhani" untuk mencari kepuasan batin semata.

6. Melembutkan hati dengan mengingat Allah

Artinya pribadi mukmin tidak layak ditaburi butir-butir maksiat, dosa, kedengkian, hasad, prasangka, yang justru akan mengotori dan merusaknya (Az-Zummar: 22; Al-Anfaal: 2). Maka ia terus-menerus berinteraksi dengan Al-Qur'an, banyak bersujud, dan amal-amal shalih yang membebaskan jiwa. Seorang ulama salaf berkata, "telitilah hatimu dalam tiga hal, ketika membaca Al-Qur'an, berdzikir, dan shalat. Jika dalam saat-saat tersebut tidak dapat khusyu', maka mohonlah kepada Allah agar diri anda diberi "hati". Sebab ketika diri anda tidak menggapai kekhusyu'an, sebenarnya anda tidak "berhati".

7. Ittiba' terhadap Al-Qur'an dan Sunah

Yakni mengembalikan segala cara kehidupan dengan Al-Qur'an dan Sunah. Al-Qur'an dan Sunah yang menyatu dalam kepribadian, dalam ibadah, akhlaqul karimah, dan muamalah.

Bila langkah-langkah ini ditempuh, insya Allah jiwa kita akan bertambah bersih dan suci. Allahu a'lam.


dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

20 Januari 2009

Takziyatun Nafs

Allah Azza wa Jalla berfirman,

" Dialah yang telah mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Hikmah. Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata" (Al-Jumu'ah: 2).

Salah satu faktor paling mendasar yang menyebabkan umat Islam mundur dan surut di belakang, atau hanya berada di pojok peradaban tanpa peran berarti karena mereka jauh dari sumber-sumber Islam, Al-Qur'an dan Sunah. Sehingga manusia hidup di luar petunjuk yang semestinya dan keluar dari rambu-rambu kehidupan. Terjadi berbagai pertentangan dalam pentas kehidupan. Mengapa? Karena hati manusia menjadi tertutup, kasat, hitam pekat bahkan mati. Bahkan meski jasad mereka hidup, namun tak lebih dari mayat yang berjalan atau bangkai yang menebarkan "polusi" di tengah masyarakat.

Rasulullah SAW bersabda, "Matsalulladzina yadzkurunallah walladzina yadzkuru Rabbahu matsalul hayyi wal mayyiti... rawahu Bukhari... artinya: Perumpamaan orang mengingat Allah dengan orang yang tidak mengingat-Nya adalah seperti orang yang hidup dengan yang mati" (HR. Bukhari).

Salah satu cara Rasul dan misi Beliau dalam membangkitkan manusia dari lembah jahiliyah menuju cahaya Islam adalah dengan tarbiyah Islamiyah (pendidikan Islam) secara utuh dan menyeluruh, yakni mencakup:

Tilawah, membacakan ayat-ayat Allah kepada manusia untuk memberikan gambaran dan kejelasan arah orientasi kehidupan, min aina... ilaa aina... limadza, dari mana asal manusia, hendak kemana dia, dan untuk apa dia hidup?

Tazkiyah, yakni upaya pembersihan dan penyucian baik fisik maupun ruhani dari berbagai penyakit kehidupan, seperti syirik, nifak, iri, dengki, degradasi moral, sehingga tumbuh pribadi-pribadi suci yang utuh menyeluruh. Sehat jasmaninya, suci jiwanya dan jernih pikirannya, itulah yang akan diraih dalam proses penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) ini.

Tu'allimuunal kitab wal hikmah, mengajarkan Al-Qur'an dan hikmah, yakni mengajarkan kepada manusia tentang Islam dengan seluruh seluk-beluk, ciri dan karakternya, sehingga terbentuk pemahaman Islam yang utuh dan menyeluruh, tidak sepotong-potong. Dengan pemahaman utuh seseorang akan mampu bersikap tepat dalam berislam secara kaffah. Jelas orientasi hidupnya, lurus persepsi dan pandangan hidupnya, bersih pola pikirnya, mulia akhlaqnya, serta mampu menata diri secara optimal. Sehingga Islam, menjadi pijakan kokoh langkahnya, yang ia amalkan dan dakwahkan di tengah masyarakat, dengan menjadikan dirinya pelopor dari semua yang didakwahkannya.

Urgensi Tazkiatun Nafs
  1. Untuk membentuk pribadi-pribadi muslim yang tangguh dan istiqamah (Ali-Imran: 79, 110, 146; Fushilat: 30).
  2. Mempersiapkan hati untuk menerima perintah Allah dengan penuh ketaatan, sam'an wa thaa'atan.
    Yaitu dengan bersihnya hati maka segala perintah dalam bentuk apapun siap dijalankan-Nya, karena yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah tidak mungkin menjerumuskannya dalam kehinaan. Caranya adalah dengan mengkaji dan mendalami Al-Qur'an setahap demi setahap secara kontinyu, diamalkan ayat demi ayat secara berkesinambungan akhirnya menyatu dengan kepribadian. Sebagaimana Ibnu Mas'ud berkata, kami menerima Al-Qur'an cukup sepuluh ayat-sepuluh ayat, kami pahami dan kami amalkan, baru kami minta tambahan ayat lain".
  3. Menyuburkan amal shalih, yaitu bila hati telah bersih dan suci, maka berbagai peluang amal yang terbentang di depan mata tidak akan disia-siakan begitu saja. Ia senantias khusyu' dalam shalatnya, meninggalkan dari berbagai perkara yang tidak berguna, menunaikan kewajiban zakatnya, menjaga kemaluan, menegakkan shalat, menunaikan amanah (Al-Mukminun: 1-8).
  4. Menghidupkan akhlaq mulia, yakni selalu menjadikan Al-Qur'an sebagai parameter dalam setiap langkah kehidupan, dengan meneladani kepribadian Rasulullah SAW ...kaana khluquhul Qur'an ...akhlaq Rasulullah adalah Al-Qur'an. Sesungguhnya akhlaq merupakan bagian tak terpisahkan dari pribadi mukmin, karena ia merupakan cerminan dari aqidah yang lurus dan ibadah yang benar. Dan pada akhirnya akhlaq mulia itu pun akan menenangkan jiwa. Mengapa? Karena ia selalu menunaikan kewajiban dirinya dan memenuhi hak-hak orang lain. Allah Azza wa Jalla berfirman, "Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya, maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam surga-Ku" (Al-fajr: 27-30).


dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

19 Januari 2009

Kepekaan Terhadap Lingkungan

Allah SWT berfirman,

"Wahai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka..." (At-Tahrim: 6).

"Peliharalah dirimu dari adzab (fitnah ) yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu,. Ketahuilah, sesungguhnya Allah amat pedih siksa-Nya" (Al-Anfaal: 25).

Sebagai kaum muslimin yang beriman kita mestinya memiliki kepekaan yang mendalam terhadap persoalan yang ada disekitar kita. Karena kita mempunyai tanggung-jawab pribadi, keluarga, masyarakat, maupun umat manusia secara keseluruhan. Jelaslah kita tidak boleh membiarkan atau mentolelir terjadinya kemunkaran di sekitar kita. Bisa jadi saat kita diam dari amar ma'ruf nahi munkar, saat itulah Allah mengirimkan azhab dari arah yang tak disangka-sangka.

Kita mengawali dari diri untuk melaksanakan Islam secara baik dan benar (kaffah) (Al-Baqarah: 208). Kemudian kita menyuruh keluarga kita pada ketaatan itu (Lukman: 12-19). Setelah itu kita ajak manusia untuk meniti jalan Allah yaitu menjadikan Allah sebagai tujuan dari segala amal kita. Allah berfirman,

"Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan cara hikmah, mau 'izhah hasanah dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik..." (An-Nahl: 125).

Ini penting sekali disadari. Karena kalau kita mengabaikan tanggung-jawab ini, kita akan menerima akibatnya yaitu diberi azhab sebagaimana orang-orang zhalim menerimanya. Namun bila kita mengadakan amar ma'ruf nahi munkar, Insya Allah akan diselamatkan dari azhab itu.
  1. Orang yang tidak mau beramar ma'ruf nahi munkar akan diratakan azhabnya oleh Allah (Al-Anfaal: 25).
    Rasulullah SAW bersabda,
    "Sesungguhnya jika manusia melihat kemunkaran lalu tidak mengubahnya, maka Allah akan menyegerakan azhab secara merata kepada mereka" (HR. Ahmad).
    Rasulullah SAW pernah ditanya oleh Zainab binti Jahsy, salah seorang istri Rasul SAW. "Afatuhlikuuna wa fiina shaalihuuna... apakah kami akan dibinasakan padahal di antara kami ada orang-orang shalih?" Rasulullah SAW menjawab, "Na'am, idzaa kastural khams... Benar, apabila telah merata kerusakan" (HR. Bukhari dan Muslim).
    Rasulullah SAW juga mengibaratkan suatu kaum yang tidak amar ma'ruf nahi munkar seperti sekelompok orang dalam sebuah kapal. Di dalam sebuah kapal ada penumpang, sebagian di dek atas, sebagian di dek bawah. Orang-orang yang ada di dek bawah apabila ingin mengambil air harus melewati orang yang ada di atasnya. Maka orang-orang di dek bawah tidak ingin merepotkan orang-orang di dek atas. Mereka kemudian membuat lubang dalam kapal untuk mengambil air dengan mudah.Bila orang-orang yang di dek atas tidak mencegahnya, maka akan tenggelamlah seluruh kapal. Dan apabila ia mencegahnya, maka akan selamatlah seluruh penumpang kapal (HR. Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, dan Baihaqi).
    Bila kita saksikan umat sekarangpun sedang ada di atas "kapal" raksasa. Banyak yang mencoba melubangi kapal kita itu. Bila kita biarkan kita semua akan tenggelam, tanpa pandang bulu. Oleh karena itu harus kita berantas kemunkaran untuk menyelamatkan seluruh umat.
  2. Tidak ada amar ma'ruf nahi munkar berarti tidak ada lagi iman di hati.Rasulullah SAW bersabda,
    "Jika kamu melihat kemunkaran, maka ubahlah dengan tanganmu, bila tak mampu maka ubahlah dengan lisanmu, jika tak mampu maka dengan hatimu, dan itu adalah selemah-lemah iman" (HR. Muslim).
  3. Tidak adanya amar ma'ruf nahi munkar berakibat kita dijajah orang-orang jahat dan doa kita tidak dikabulkan.
    Rasulullah SAW bersabda, "Hendaklah kalian benar-benar menyuruh kepada yang ma'ruf, dan benar-benar mencegah dari yang munkar, atau (kalau tidak) benar-benar Allah akan menjadikan orang-orang jahat di antara kalian berkuasa atas orang-orang baik diantara kalian, lalu doa merekapun tidak akan dikabulkan" (HR. Tirmidzi, Al-Baghawi).


dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

18 Januari 2009

Meneladani Kehidupan Rasulullah SAW

Allah Azza wa Jalla berfirman,

"Katakanlah, "Jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku, (maka) Allah akan mencintai kamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (Ali-Imran: 31).

Salah satu bentuk komitmen seorang muslim dalam menyempurnakan keimanan dan ketaqwaan adalah dengan menjadikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai idola paripurna dalam kehidupan. Allah telah menggariskan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sosok paling ideal yang paling tinggi kepribadiannya (Al-Ahzab: 21). Dan orang-orang yang menjadikan Rasul sebagai teladan, mereka yang akan mendapat balasan yang agung baik di dunia maupun di akhirat. Adapun ciri-ciri mereka adalah:

- Mereka iman kepada Allah dengan iman yang totalitas.
- Meyakini akan datangnya hari kiamat.
- Mereka banyak menyebut asma Allah (dzikrullah).

Sebagaimana firman Allah,

"Sesungguhnya telah ada dalam (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah, dan (kedatangan) hari akhir, dan banyak menyebut asma Allah" (Al-Ahzab: 21).

Lalu bagaimana cara meneladani dan menaati Rasulullah?
  1. Dengan ittiba' kepada Rasulullah dalam setiap kehidupan, "fattabi'uuni... ikutilah aku" (Ali-Imran: 31).
  2. Dengan tha'at, yaitu mentaati Rasulullah dalam setiap perintah dan menjauhi larangan (An-Nisaa': 59, 65; Al-Ahzab: 36; Al-Hasyr: 7).
  3. Dengan mencintai Rasulullah dan menempatkannya pada prioritas cinta yang utama, yakni cinta kepada Allah, Rasul-Nya, dan jihad di jalan Allah (Al-Baqarah: 165; At-Taubah: 24; Al-Maidah: 54-55).
Pribadi-pribadi mukmin adalah orang-orang yang mempelopori Rasulullah dalam semua sisi kehidupannya. Baik dalam ibadah dan kezuhudan, tawadhu' dan kebijaksanaan, kekuatan fisik dan keberanian, dan kecanggihan pemikiran dan keteguhan prinsip, serta segudang keteladanan agung yang dipaparkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Meneladani Ibadah Nabi SAW

Hendaknya tiap muslim selalu terbayang dalam benaknya bahwa Rasulullah yang sudah diampuni dosanya ternyata selalu beribadah sepanjang malam hingga kakinya bengkak, membaca istighfar tidak kurang seratus kali dalam sehari, dan berpuasa pada sebagian besar hari-hari Beliau.

Mencontoh Kezuhudan Nabi

Bayangkan dan rasakanlah bahwa Nabi tak pernah makan roti sampai kenyang dalam tiga hari berturut-turut, padahal sangat bisa untuk hidup mewah. Beliau tidur di atas tikar kasar dari serabut kurma dan berbantalkan rerumputan, berpakaian sederhana tapi tetap bersih, rapi, menarik dan simpatik.

Meneladani Ketaqwaan Rasulullah

Hendaklah selalu terbayang dalam benak muslim bahwa Rasulullah biasa duduk tanpa alas, makan bersama pembantu, menjahit sendiri pakaian, memperbaiki sandalnya, membantu pekerjaan istrinya dan selalu bersikap dengan sikap-sikap yang bersahaja, namun tegar dalam memperjuangkan prinsip.

Kesabaran dan Kelembutan Nabi

Nabi adalah figur teladan yang paling sabar dan paling lembut dalam menghadapi siapapun, hamba-hamba Allah. Beliau menyikapi orang Badui yang kencing di masjid dengan penuh kesabaran. Menghadapi yahudi yang menagih hutang dengan sikap tenang dan lapang, menghadapi sikap kasar Badui yang menarik sorban Beliau dengan senyum yang memikat, menjenguk tetangga yang selalu mengganggunya saat sakitnya.. dan masih banyak lagi contoh ketinggian pribadi Nabi SAW.

Keteguhan Nabi dalam Memegang Prinsip

Dakwah Rasulullah dihadang dengan berbagai cobaan pahit godaan empuk yang merayu. Namun Beliau tetap tegar dan tegas dalam memperjuangkan prinsip tanpa goyah sedikitpun. Saat ditawari berbagai kemewahan dunia, harta, tahta, dan wanita, Beliau menjawab dengan penuh ketegaran.

"Wahai paman, demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku supaya aku meninggalkan urusan ini (dakwah), aku tidak akan meninggalkannya sehingga Allah memenangkan dakwah atau aku binasa karenanya".

Kekuatan Fisik dan Keberanian Nabi

Dalam hal kekuatan fisik, tidak ada yang dapat mengalahkan Beliau Nabi SAW. Rukanah tiga kali gulat dengan Nabi, namun tak satu kalipun sanggup mengalahkan Nabi, Rasulullah meladeni tantangan Ubay bib Khallaf di perang Uhud, para sahabat juga sering berlindung di belakang Rasul dalam peperangan. Rasul selalu maju di garda depan dalam berbagai pertempuran. Rasul juga memecahkan batu besar dalam pembuatan parit dalam perang Khandaq saat para sahabat kewalahan untuk memecahkannya.

Keadilan Nabi

Pernah dalam suatu majelis diadakan jamuan. Rasulullah disuguhi dengan segelas susu, duduk di samping kanan Beliau seorang anak kecil; dan di sebelah kiri para pembesar. Setelah Rasulullah yang paling berhak minum susu tersebut adalah anak kecil di sebelah kanan Beliau. Beliau hendak memberikan susu tersebut pada para pembesar, namun beliau terlebih dahulu meminta izin dan keridhaan anak kecil itu. Anak kecil menjawab, "Wahai Rasulullah, saya tidak akan memberikan kepada orang lain setelah Anda". Inilah perlakuan adil seorang pemimpin sekaligus tindakan terpuji seorang pendidik yang bijak.

Itulah sosok paling ideal dalam seluruh sejarah kehidupan. Namun pribadi Rasulullah tersebut dapat dicontoh oleh siapapun, baik dia seorang pedagang, guru, pakar politik, ahli strategi militer, seorang suami yang penyayang, seorang bapak yang lembut, seorang peminpin yang adil, seorang sahabat yang baik dan simpatik.



dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

17 Januari 2009

Urgensi Menghafal Al-Qur'an

Al-Qur'an menduduki tersendiri bagi umat Islam, meskipun mereka tidak pernah berhubungan dengan Al-Qur'an. Seorang ulama, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa, "Barang siapa tidak pernah membaca Al-Qur'an maka dia telah mengabaikan Al-Qur'an. Barang siapa membaca Al-Qur'an akan tetapi tidak mentadaburi Al-Qur'an maka ia telah melalaikan Al-Qur'an. Dan barang siapa membaca, mentadaburi Al-Qur'an tapi tidak beramal dengan Al-Qur'an, maka berarti ia telah melalaikan Al-Qur'an". Agar kita tidak termasuk orang yang melalaikan Al-Qur'an dan akan dilalaikan oleh Al-Qur'an, hendaknya kita selalu bergaul dengan Al-Qur'an, diantaranya dengan menghafal Al-Qur'an. Karena menghafal Al-Qur'an sangat penting yaitu:

1. Untuk menjaga kemutawatiran Al-Qur'an

Adanya orang menghafal Al-Qur'an secara mutawatir mustahil terjadi kedustaan. Sebuah kaidah, "Sesuatu yang diriwayatkan oleh banyak orang, mustahil mereka bersatu dalam kedustaan".

Allah sendiri memelihara kemurnian Al-Qur'an dengan adanya para hufadz. "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur'an dan Kamilah yang menjaganya" (Al-Hijr: 9).

2. Meningkatkan kualitas dan izzah umat

Allah berfirman, "Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kalian Al-Qur'an yang di dalammya terdapat kejayaan bagi kalian, tidaklah kalian mau berfikir" (Al-Anbiya: 10).

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sungguh Allah telah mengangkat kualitas umat ini dengan Al-Qur'an".

Allah SWT berfirman, "Sungguh telah Kami mudahkan Al-Qur'an itu untuk mempelajarinya, menghafal dan mentadaburinya" (Al-Qamar: 17, 22, 32, 40).

3. Menjaga terlaksananya sunah-sunah Nabi SAW

Sebagian besar ibadah dapat terlaksana dengan baik dibekali hafalan Al-Qur'an, seperti: shalat, dakwah, mengajar, khutbah 'id, Jum'at, dll.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Sesungguhnya panjang shalat seseorang dan ringkas khutbahnya merupakan tanda kefaqihan diennya" (HR. Muslim).

Seperti shalat subuh Rasul. Beliau membaca surat-surat panjang. Pada hari Jum'at dibaca Alif Lam Mim As-Sajdah dan Al-Insan. Di hari lain Beliau membaca Ar-Rum. Pada 'ied beliau baca Al-A'laa dan Al-Ghasyiyah.

4. Menjauhkan mukmin dari aktivitas laghwu (sia-sia) (Al-Mu'minun: 1-3; 28; 55).

Dengan hifzhul qur'an, secara otomatis nilai kemanfaatan waktunya semakin besar, pahala yang diraihpun semakin banyak, dan pekerjaan yang ditunaikan semakin luas. Inilah ciri- ciri produktivitas qur'ani-rabbani.

5. Mengikuti tradisi salafush shalih

Imam Syafi'i telah hafidz saat usia 7 tahun, Imam Malik hafidz usia 10 tahun, begitu juga Ibnu Sina yang sekaligus alim di bidang kedokteran.

Dalam tilawah Al-Qur'an dan menghafalnya dikenal berbagai macam tingkatan dan variasi ibadah. Ibnu Abbas, misalnya pernah berkata, "Aku lebih suka membaca surat Al-Baqarah dan Ali-Imran, membacanya secara tartil dan mendalaminya daripada membaca Al-Qur'an seluruhnya secara serampangan. Barang siapa waktunya lebih banyak longgar hendaklah dia pergunakan untuk banyak membaca Al-Qur'an agar dia beruntung mendapatkan pahala yang banyak".



dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

16 Januari 2009

Totalitas Syariat Dalam Islam

Allah Azza wa Jalla berfirman,
"Untuk tiap-tiap kalian Kami jadikan syariat dan manhaj (sistem aturan)..." (Al-Maidah: 48).

  • Syariat Islam individu, dalam ibadat terhadap Rabb-nya. Hal ini tidak ada hukum positif atau hukum "wadh'i" buatan manusia.
  • Syariat Islam menjangkau individu dengan seluruh perilakunya baik umum maupun khusus. Baik menyangkut halal, haram, sunnah, makruh maupun mubah.
  • Mengatur permasalahan keluarga dengan etika dan tata-caranya, syarat dan rukunnya, serta adab-adabnya.
  • Mengatur hubungan moneter dengan segala petunjuk pelaksanaannya yang rinci, seperti jual-beli, sewa-menyewa, peminjaman, hutang-piutang, gadai, wesel, jaminan, auransi, dan sebagainya.
  • Mengatur permasalahan yang berhubungan dengan masalah kriminal dengan segala tata aturan dan kadar hukum bagi para pelakunya. Seperti hudud, qishash, dan hukuman bagi orang yang lalai.
  • Mengatur hubungan pemerintah dengan rakyat, kewajiban rakyat terhadap pemerintah, komunikasi antara keduanya, perpajakan, manajerial, administrasi dan sistem perekonomian negara.
  • Mengatur hubungan antar negara, baik saat perang maupun dalam keadaan damai. Bahkan mengatur hubungan sosial negara muslim dengan penduduknya yang muslim dan non muslim, dengan negeri-negeri yang belum muslim, serta etika dan tatacara mendakwahi mereka dengan hikmah.
  • Memberikan tindakan-tindakan preventif dan antisipatif terhadap persoalan umat, seperti diaturnya masalah hijab dan pandangan serta tatakrama untuk menjaga dari perzinahan, dijaminnya perekonomian menjaga timbulnya tindak kejahatan, ditegakkannya keadilan dan pemerataan guna tertegaknya stabilitas masyarakat, diwujudkannya akhlaq mulia guna terkondisinya ketentraman umat dan sebagainya.
Begitulah sekilas gambaran kesempurnaan Islam yang mesti diterapkan secara sempurna. Bila belum diterapkan, minimal ada cita-cita untuk kesana dan meyakini bahwa inilah karya agung dari Yang Maha Agung dan Maha Tahu akan segala makhluk ciptaan-Nya. Allah Yang Maha Tahu dengan segala kondisi manusia dan seluruh makhluk ciptaan-Nya, maka Dialah yang paling tahu segala kelemahan dan kelebihan manusia, sehingga hanya Dialah yang pantas menentukan petunjuk pelaksanaan dan tatacara kehidupan. Seperti sebuah pabrik kendaraan, dialah yang paling tahu dengan kendaraan yang diluncurkannya. Maka dia menyertakan aturan pakai dan perawatan. Bila dipenuhi aturan pakai tersebut Insya Allah kondisi kendaraan akan tetap baik dan lancar.

Untuk itu masing-masing pribadi muslim paling minimal harus menegakkan ajaran Islam dalam diri dan keluarganya, sehingga dapat menjadi terjemah hidup "ajaran Islam". Allahu a'lam.



dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

15 Januari 2009

Totalitas Akhlaq Dalam Islam

Islam juga mengatur kehidupan manusia secara menyeluruh dalam persoalan akhlaq. Akhlaq Islam tidaklah sebatas syiar-syiar pelaksanaan ibadah, seperti menghindar dari makan babi, minum khamr dan sebagainya. Akan tetapi mencakup seluruh sisi kehidupan.
  • Akhlaq Islam tidak meninggalkan satu aspek pun dari kehidupan, baik ruhani, jasmani, keagamaan maupun duniawi, intelektual atau insting, individu atau sosial, melainkan meletakkan sistem atau kerangka aturan pelaksanaan terbaik menuju harkat dan martabat kemanusiaan. Inti akhlaq adalah menempatkan manusia pada jati dirinya sebagai manusia. Karena ada manusia yang berperilaku binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka punya telinga tapi "tuli", mereka punya mulut tapi bisu, mereka punya mata tapi buta. Mereka laksana mayat yang berjalan. Mengapa? Karena hidupnya tidak memberikan sumbangsih atau kemanfaatan bagi manusia, bahkan menimbulkan "bau busuk" bagi manusia sekelilingnya.
  • Risalah Islam bertujuan menyempurnakan akhlaq manusia, "innamaa bu'its-tu liutammimma makaarimal akhlaaq... sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia (HR. Ahmad), mempercantik dan memperindahnya, sehingga siapapun dia, ketika beriman, beribadah dan berakhlaq secara Islam akan menebarkan keharuman aroma di kancah kehidupan (Ibrahim: 24-25).
  • Antara aqidah, ibadah dan akhlaq saling terkait satu sama lain, saling mempengaruhi dan saling menyempurnakan. Aqidah yang lurus akan menumbuhkan ibadah yang benar, ibadah yang benar akan membuahkan akhlaq mulia. Demikian juga akhlaq mulia akan memperkokoh ibadah dan menjaga kualitas iman. Para ulama salaf memberikan syarat agar bisa meraih keutamaan shalat malam dengan meninggalkan maksiat. Demikian juga Imam Syafi'i pernah mengadu kepada Waki' (gurunya) karena lemahnya hafalan, maka sang guru berwasiat agar Syafi'i meninggalkan maksiat. Karena ilmu adalah nur dan nur (cahaya) Allah tidak akan dikaruniakan kepada pelaku maksiat. Jadi hubungan aqidah, ibadah, akhlaq tidak dapat dipisahkan satu dengan lain... "Al-imaanu yaziidu wa bilma'aashii... iman itu bisa bertambah dan berkurang... bertambah dengan ketaatan berkurang dengan kemaksiatan".
  • Bahkan secara tegas dalam hadits Rasulullah mengaitkan kesempurnaan iman dan ibadah seseorang dilihat dari akhlaqnya sehari-hari. Misalnya hadits "man kaana yu'minu billahi wal yaumil aakhiri...dihubungkan dengan berkata baik atau diam (fal yakul kahiran au liyashmut), fal yukrim jaarahu (maka hendaklah memuliakan tetangganya), fal yukrim dhaifahu (hendaklah memuliakan tamunya). Juga hadits "laa yu'minu ahadukum hatta yuhibba liakhii-hi maa yuhibbu linafsihi... tidak sempurna iman salah seorang diantara kalian sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri... (Muttafaqun'alaih).
Akhlaq Islam kaitannya dengan Individu
  • Makan, sebagai kebutuhan jasmani, namun tidak berlebih-lebihan. Allah berfirman, "kuluu wasyrabuu walaa tusrifuu... makan dan minumlah kalian, dan janganlah berlebih-lebihan (Al-A'raf: 31). Rasulullah SAW bersabda, "Inna lijasaadika 'alaika haqqan... sesungguhnya badan kalian mempunyai hak atas kalian" (HR. Bukhari).
  • Kemampuan dan wawasan perlu dibina dan dikembangkan (Yunus: 101; Saba'; 46)
  • Perasaan dan motivasi perlu diarahkan dan ditumbuhkan (Asy-Syams: 9-10).
Akhlaq dalam Keluarga:
  • Hubungan suami istri (An-Nisaa': 19).
  • Hubungan orang tua dengan anak (Al-Ahqaaf: 15; Al-Isra': 31).
  • Hubungan antar kerabat dan famili (An-Nahl: 90; Al-Isra': 26).
Akhlaq dalam Masyarakat
  • Adab dan tatakrama (An-Nur: 27) tentang bertamu.
  • Perekonomian dan muamalah (Al-Muthaffifiin: 1-3) tentang larangan curang dalam bisnis, (Al-Baqarah: 282) keharusan mencatat transaksi bisnis.
  • Politik dan pemerintahan, kewajiban menunaikan amanah.
  • Berakhlaq mulia terhadap makhluk tidak berakal, hewan, tumbuhan, alam semesta dan seluruh isinya. Rasulullah SAW bersabda, "Dan setiap hati (binatang) yang dimakan dengan cara yang baik, itu tingkatannya pahala" (HR. Bukhari). Perintah berbuat baik (ihsan) saat menyembelih hewan,
    "Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat ihsan dalam segala sesuatu, dan apabila kalian membunuh muslim maka hendaklah membunuh dengan cara yang ihsan, dan jika kalian menyembelih maka lakukanlah penyembelihan dengan baik, hendaklah dia menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihan" (HR. Muslim).
Akhlaq terhadap Alam Semesta serta Makrokosmos
  • Alam sebagai tempat merenung, berfikir dan berdzikir kepada Allah serta meningkatkan keimanan (Ali-Imran: 190-191).
  • Mengambil manfaat dari alam dan mengelolanya dengan baik dan memperhatikan ke depan (Luqman: 20; Al-Baqarah: 172).
  • Kesemua akhlaq di atas dilandasi sebuah etika agung bahwa dibalik semua itu Allah-lah yang maha memiliki dan segala pujian hanyalah untuk Allah (Al-Fatihah: 1-7).
Itulah gambaran betapa sempurnanya akhlaq Islam, karena Islam mengatur:
  • Hubungan hamba dengan Rabb-nya.
  • Hubungan manusia dengan sesamanya.
  • Hubungan manusia dengan alam sekitarnya, alam semesta dengan segala yang ada di dalamnya, termasuk hewan dan tumbuhan.


dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin

14 Januari 2009

Totalitas Ibadah Dalam Islam

Allah berfirman,

"Katakanlah, "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam..." (Al-An'am: 162)

"Dan tidaklah aku diperintahkan melainkan untuk menyembah kepada Allah dengan memurnikan agama yang lurus..." (Al-Bayyinah: 5).
  • Ibadah dalam Islam mencakup seluruh keberadaan manusia, baik dengan lisannya, badannya, hatinya, akalnya, perasaan dan pikiran, indera dengan mengikutsertakan seluruh organ tubuh.
  • Ibadah fisik dalam shalat misalnya berupa berdiri, ruku', duduk, sujud. Ibadah lisan berupa membaca Al-Qur'an, bertakbir, bertasbih, bertahmid, berdoa. Adapun ibadah akal berupa memikirkan dan merenungkan makna dari ayat-ayat Al-Qur'an maupun rahasia shalat. Bahkan ada ibadah nurani berupa kekhusyu'an, cinta dan merasa adanya pengawasan Allah (muraqabatullah). Rasul bersabda, "Anta' budallaaha ka-annaka taraahu fainlam takun taraahu fainnahu yaraaka... rawaahu muslim... artinya beribadahlah engkau seola-olah engkau melihat-Nya (allah) dan jika kamu tidak dapat melihat-Nya, (ketahuilah) bahwa Dia melihatmu" (HR. Muslim).
  • Ibadah Islam menjangkau semua aspek kehidupan. Jadi tidak terbatas pada syiar-syiar ritual yang biasa kita kenal seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Akan tetapi mencakup seluruh gerak aktivitas yang bisa meningkatkan kualitas kehidupan dan membahagiakan manusia. Seperti jihad di jalan Allah merupakan ibadah untuk membela al-haq dan meninggikan kalimat Allah adalah ibadah tertinggi yang tiada ternilai harganya.
  • Semua perkerjaan bermanfaat yang dilakukan seorang muslim dalam rangka berhikmad kepada masyarakat, menolong personilnya (khususnya yang lemah), mengangkat harkat kaum miskin, menyantuni kaum dhu'afa, merupakan ibadah yang bernuansa sosial.
  • Seorang pedagang yang jujur dalam jual-beli, timbangan dan perniagaannya, memisahkan barang baik dan barang jelek, tidak curang juga termasuk ibadah dari aspek ekonomi.
  • Seorang pegawai yang berhikmad untuk melayani masyarakat, menjaga harta dan amanah umat, memikul tanggung-jawab pekerjaan dengan baik juga termasuk ibadah mulia.
  • Seorang menghidupi diri dan keluarga dengan harta yang halal dan thayib tanpa meminta-minta, untuk menjaga muru'ah dan harga diri, juga termasuk ibadah.
  • Bahkan orang yang menempatkan syahwatnya dalam hal-hal yang halal akan mendapatkan pahala. Setelah mengungkapkan masalah ini para sahabat heran dan bertanya-tanya, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Bukankah orang yang menempatkan syahwatnya pada hal-hal yang haram itu akan mendapat dosa?" Mereka menjawab, "Benar ya Rasulullah?"....
  • Seorang petani, insinyur, pelajar, mahasiswa, dan semua bidang profesi dapat mengangkat nilai-nilai ibadah sesuai kapasitas dan keberadaannya sebagai seorang muslim dan mukmin.
Dalam surat Al-An'am, ibadah dibedakan menjadi:

Shalat, yaitu ibadah yang sudah ditentukan "juklak"nya dengan sangat jelas dan terperinci, hingga shalat dalam keadaan apapun dan bagaimanapun ada tuntunannya. Seperti shalat khauf dalam peperangan, shalatnya orang sakit, perjalanan dan sebagainya. "Shalluu kamaa ra'aitumunii ushaliii... Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.

An-Nusuki, maksudnya adalah ibadah-ibadah yang ditentukan kadar dan karakter pelaksanaan- nya seperti ibadah qurban, yang harus dipenuhi rukun dan standar pelaksanaannya, seperti waktu, syarat hewan yang sehat dan laik, cara menyembelih, dan sebagainya.

Al-Mahyaa artinya kehidupan kita adalah ibadah manakala semua amal dan aktivitas apabila dilakukan dengan benar, tidak bertentangan dengan aturan Allah dan Rasul-Nya (syariat) dan untuk kebaikan serta mashlahat, maka termasuk ibadah di sisi Allah.

Al-Maut atau kematian, maksudnya seorang muslim dalam totalitas kemuslimannya juga harus mengupayakan matinya dalam komitmen keislaman, keimanan serta memperjuangkan asma Allah sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Maka dalam mengusahakan kematian sebagai ibadah, adalah istiqamah dalam Islam, menjaga akhlaq dan adab-adab Islam, serta meniatkan untuk syahid di jalan Allah dan mewujudkannya dalam alam nyata sehari-hari. Adapun orang yang matinya sedang dalam maksiat bukan termasuk ibadah, bahkan justru mengantarkannya pada ahzab Allah. Untuk itu perlu dijaga ketaqwaan kita di manapun berada, ittaqillaaha haitsumaa kunta... bertaqwalah kepada Allah dimanapun kamu berada (HR. Tirmidzi), karena... wahuwa ma'akum ainamaa kuntum... dan Dia (Allah) senantiasa bersamamu di manapun kamu berada. Ini dapat diupayakan dengan senantiasa nasehat-menasehati dalam kebenaran, dalam kesabaran dan dalam kasih sayang.

Dan masih banyak dan sangat luas jangkauan ibadah dalam Islam. Hanya saja ada standar atau syarat diterimanya ibadah. Yaitu, ulama membagi ibadah menjadi dua: ibadah mahdhah (khusus) dan ibadah ammah (umum).

Ibadah Mahdhah, shalat, puasa, zakat dan lain-lain, mempunyai syarat:
  1. Ikhlashun-niyah, yaitu lurusnya niat hanya mengharap ridha dan balasan Allah.
  2. Shahihul ibadah (ibadah yang benar) dan ittiba 'us syar'i, yakni dilakukan berdasarkan contoh dan keteladanan Rasulullah. Disyariatkan Allah dan Rasul-Nya. Tidak boleh membuat amalan baru, "Man ahdatsa fii amrina haadzaa maa laisa minhu fahuwa raddun... barang siapa beramal suatu amalan yang tidak kami perintahkan maka dia akan tertolak".
Dari sini para ulama menggariskan khaidah ushul bahwa "al ashlu fii ibadah haraamun illa bimaa syuri... asal ibadah dari segala ibadah adalah haram kecuali yang disyariatkan".

Selain itu ada ulama yang menambahkan syarat diterimanya ibadah khashshah dengan mahabbah. Yakni ibadah dilandasi rasa cinta.

Sedangkan ibadah ammah (umum) adalah segala amal dan aktivitas manusia muslim-mukmin adalah ibadah, manakala, pertama dilaksanakan dalam rangka menggapai ridha Allah. Kedua, tidak bertentangan dengan syariat Allah.



dikutip dari:
Materi Ceramah Ramadhan dan Umum
Abu Izzuddin